SOSOK Abuya KH Muhammad Thoha Alawy Al Hafidz figur ulama yang eman, sayang kepada para santri. Eman pula kepada para alumni dan semanak kepada siapa pun yang dikenalnya. Kepada siapa pun Abuya menaruh hormat. Hal itu tercermin dalam setiap ucapan maupun tindakan.
Perjumpaan pertama mengenal beliau di tahun 2000. Kesan sebagai sosok teduh, mengayomi, sangat terasa. Pembawaan yang hangat, ramah, sabar, sekaligus kebapakan sangat saya rasakan. Betapa, sebagai santri, jujur, belum bisa takzim sepenuhnya. Energi sebagai santri kerap terpecah belah dengan berbagai urusan dan dinamika di luar Pondok Pesantren Ath Thohiriyah Parakanonje Karangsalam Purwokerto yang beliau asuh. Namun, Abuya–sapaan akrabnya, belum pernah membentak apalagi marah. Saat sowan dari zaman nyantri, saat halal bihalal Lebaran, atau sowan ke ndalem pada kesempatan lain, nyaris tak ada yang berubah dalam diri Abuya. Selalu mendengar keluh kesah, selalu memberi nasihat dan selalu memberi doa.
Sewaktu mondok dulu, pernah satu kali Abuya tengah memplester bagian dalam bak mandi kamar mandi santri putra, badan Abuya masuk ke dalam kotak bak. Tanpa bisa saya lihat dari luar. Entah kenapa spontan saya tanya: siapa ya? Tanpa menjawab, Abuya hanya dehem. Ehhhm. Begitu tahu Abuya berada dalam kotak bak mandi, tentu saya merasa salah tingkah. Spontan pula saya hanya bisa mengatakan kalimat pendek: ngapunten nggih Abuya, sambil tertunduk, jalan bergegas saking kurang enak hati, takut juga malu.
Masa 2000-2003 nyantri di Pondok Pesantren Ath Thohiriyah, Abuya sebagai pribadi bersahaja, selalu memberi perhatian penuh kepada para santri. Sepertinya beliau tahu persis takaran dan tataran para santri. Hal yang ditanamkan, lebih kepada kesadaran. Sebagai santri mestinya ya sadar ngaji dan mengikuti aturan pondok. Selagi dua hal itu terpenuhi, Abuya tak pernah membebani apa pun.
***
Pagi Subuh sekitar tahun 2018, tanpa berkabar terlebih dahulu, tiba-tiba Abuya menghubungi via telpon WA. “Aku wis cedak omahe sampeyan. Neng Alfamart lampu merah,” kata Abuya.
Saya pun mudeng. Pasti lampu merah Bangjo Ngelo, Sentolo, Kulonprogo. Sekitar 1 kilometer dari rumah saya. Saya pun bergegas meluncur di suasana pagi yang masih gelap. Beliau hanya ditemani Ibu Nyai dan seorang santri sebagai driver. Tiba di Alfamart, Abuya tengah lenggah di kursi merah. Kursi yang diperuntukkan bagi para pengunjung yang mampir beli minum atau keperluan lain. “Aku arep neng Kediri. Pengin weruh omah sampeyan,” sambungnya.
Singkat cerita, Abuya tiba di rumah Sentolo. Sebagai tuan rumah saya tak bisa nyuguh apa-apa kecuali teh panas.Ndilalahnya listrik kala itu padam sehingga mau masak nasi pun tak sempat. “Wis rasah repot-repot. Mung arep tilik omahmu. Aku bungah banget nek ono santri sing wis bisa mapan,” ujar Abuya.
Obrolan pun nyambung sekitar satu jam. Satu pesan yang saya ingat, agar tetap mau sinau atau belajar. Khususnya kepada santri yang sudah mukim agar tak lupa menambah ilmu. Setelah banyak ngobrol dengan sesama almunus Ath Athohiriyyah, memang salah satu kebiasaan Abuya yakni kersa datang berkunjung ke rumah para santri atau alumni. Tentu sebuah kebahagiaan tak terkira bagi saya. Mendapat kunjungan kejutan bak serangan fajar. Baru saja selesai Subuhan, mendadak Abuya hadir. Di tengah-tengah listrik padam dengan penerangan lilin, ngeteh seadanya namun penuh makna. Perjumpaan yang nyaris tak ada beda. Sebagaimana saat saya sowan ndalem sewaktu nyantri, atau pada saat momen kunjungan lainnya.
***
Pada November 2022, Abuya kembali menghubungi via ponsel. Menanyakan kapan bisa datang ke pondok. Tak berselang lama saya berangkat ke Puwokerto. Sore hari selepas Asar, bisa bertemu empat mata dengan Abuya. Pada kesempatan itu, Abuya menuturkan rasa bungahnya. Ia baru saja membuka Pesantren Ath Thohiriyyah 2 di Karangklesem Purwokero Selatan. Sehabis salat Magrib langsung mengajak saya diantar sopir untuk mengunjungi lokasi bangunan pondok di Karangklesem. Abuya ngendika masih ada kekurangan genteng untuk atap bangunan pondok. Saya pun menyanggupi buat mencarikan donasi genteng yang dikumpulkan dari pabrik genteng sokka Kebumen. Sepulang dari pondok, Abuya mengajak makan sate kambing muda tak jauh dari pondok. “Aku opo-opo isih tak pangan,” kata Abuya. Sungguh saya tak bisa berkata apa-apa. Selain takjub dengan kepribadian Abuya. Sosok ulama alim ahli Alquran nan sederhana. Tak berjarak dengan siapa pun. Semanak. Sat-set, tak bertele-tele.
***
Abuya sosok yang entengan. Berhitung mundur ke tahun 2014, lekat dalam ingatan ketika saya sowan meminta bantuan beliau untuk melamar istri saya Nur Rokhmi Hidayati. Spontan langsung mengiyakan. Bahkan langsung mengijabkan seusai lamaran. Begitu pun ketika saya sowan meminta dicarikan nama untuk anak saya. Dari tiga pilihan nama yang ditulis tangan, satu nama dipilih: Minhatul Asna. Putri cantik kelahiran 2018 itu kini telah sekolah di SD. Entah energi kuat apa yang pada akhirnya menuntun saya untuk mengajak best tim–sebutan untuk menyebut relasi antara saya, istri dan anak ketika Maret 2024 sowan berkunjung ke pondok dalam rangka haflah akhirussanah. Ada niat sangat kuat untuk mengajak mereka sowan bertemu Abuya. Ternyata perjumpaan tersebut merupakan pertemuan terakhir sebelum Abuya tutup usia pada Jumat 30 Agustus 2024.
***
Kesederhanaan, sikap istiqamah, semeleh, sabar, teduh dan sikap mengayomi, dan berbagai kenangan tentang Abuya pasti sangat membekas pada diri tiap santri Ath Thohiriyyah, para wali santri, dan masyarakat Banyumas khususnya dan khalayak umumnya. Kenangan indah dari pribadi yang indah. Sulit dilukiskan apalagi dituturkan dengan kata-kata. Abuya sosok pribadi yang lengkap. Serba bisa. Selalu memberi teladan kepada para santri.
Sukron Makmun, perangkai kata di wiradesa.co








