PURBALINGGA – Griya Petualang Indonesia (GPI) bekerjasama dengan Kedai Pojok menggelar sebuah diskusi daring bertajuk, Belajar Kelola Sampah ke Amsterdam. Diskusi tersebut digelar di Kedai Pojok Kompleks Taman Kota Usman Janatin Purbalingga, akhir pekan lalu.
“Kebetulan ada kolega dari Amsterdam sedang pulang kampung di Purbalingga. Dia bekerja di salah satu perusahaan pengelolaan sampah terbesar di dunia,” ujar Gunanto Eko Saputro, penggagas diskusi, Minggu 29 Agustus 2021.
Diskusi tersebut menghadirkan Torik Juned Bawazier, karyawan pabrik pengolahan sampah di Amsterdam. Dia membagi praktek pengelolaan sampah di perusahaan tempatnya bekerja. “Berdasarkan data 99,9 persen sampah kami kelola menjadi berbagai macam produk,” ujar Torik, yang sempat menempuh studi di SMPN 1 Purbalingga ini.
Dijelaskan, hasil pengelolaan sampah ada bermacam, mulai dari listrik, gas, bahan bakar, kompos dan bahan siap pakai hasil daur ulang dari aneka kertas, plastik, logam dan lainnya. “Bahkan ada emas sebagai salah satu hasilnya,” jelasnya.
Selain mengelola sampah di Negeri Kincir Angin itu, perusahannya sampai impor sampah dari negara tetangga untuk mencukupi kapastitas pabriknya. Pabrik yang setiap tahun mengolah kurang lebih 1,3 juta ton per tahun itu bekerja menerapkan teknologi tinggi dalam setiap prosesnya dari hulu ke hilir.
Proses pengelolaan sampah yang baik itu ditopang oleh dukungan kebijakan pemerintah. Infrastruktur dibangun dengan baik, misalnya, setiap 50 meter ada tempat sampah yang tersedia sampai ke pelosok dan regulasi yang ketat.
“Jika ketahuan buang sampah sembarangan dendanya 80 EURO (sekitar Rp. 1,3 juta), aturan ini diterapkan dan diawasi,” imbuhnya.
Teknologi informasi juga diaplikasikan, contohnya dalam pembayaran iuran sampah, pelaporan dan lain sebagainya. Lebih lanjut, tempat sampah disediakan sensor yang akan memberitahukan otomatis saat kapasitasnya penuh yang diterima langsung oleh petugas sampah.
Kemudian, masyarakat juga mendukung dengan baik dengan kesadaran yang tinggi. Hampir tidak ada yang membuang sampah sembarangan. Antar warga juga saling mengingatkan. “Sejak dini orang tua juga mengingatkan anaknya tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya,” kata pria yang juga sempat menempuh studi di SMAN 1 Purbalingga sebelum balik ke Belanda sekira 21 tahun lalu ini.
Dia menambahkan, masyarakat juga terbiasa belanja membawa kantong sendiri. Selain petugas resmi juga ada ambasador / relawan yang bekerja tanpa digaji untuk mengawasi dan menjaga kebersihan kontainer sampah.
Sementara itu, Muhammad Kholik atau Kang Pherlee dari GPI menyampaikan apa yang disampaikan Torik bisa diambil pelajaran untuk diterapkan di Purbalingga. Pertama-tama, harus diubah pola pikir bahwa sampah bukanlah musibah, tetapi berkah.
Kemudian, ada beberapa hal yang bisa ditiru dalam tataran lokal. “Kalau soal teknologinya sudah super canggih, bukannya tidak bisa namun mungkin butuh waktu kita untuk meniru. Yang bisa diaplikasikan bagaimana kesadaran masyarakat yang tinggi sedari dini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kang Pherle menggarisbawahi kebiasaan yang ditanam sejak dini di Amsterdam dimulai dari keluarga. “Keluarga menjadi pemegang peranan penting dalam pengelolaan sampah yang selama ini berjalan dengan baik,” ujar pria yang sering menjadi pembicara di forum keayahan dan parenting.
Saat ini, katanya, masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran tinggi. Contohnya, masih banyak yang buang sampah sembarangan, masih sedikit yang memilah sampah juga merasa gengsi untuk bergelut dengan sampah. “Jangankan menjadi ambasador sampah, bekerja di sektor pengelolaan sampah saja dianggap kurang bergengsi, padahal kalau melihat paparan tadi sampah adalah ‘emas’ dengan nilai ekonomi yang juga tinggi,” ujarnya.
Kang Pherle sudah memulai upaya di GPI, Dukuh Pakedjen, Desa Karangjengkol, Kutasari. GPI bekerjasama dengan warga dan pemuda setempat mulai mengelola sampah organik menjadi kompos, budidaya maggot dan memilah sampah non organik untuk didaur ulang. (Prima Intan DI)