Ditinggal Merantau, Pabrik Genteng Sokka Makin Sulit Mencari Tenaga Kerja

Dengan upah Rp 35 ribu sehari, Turimah bertahan bekerja di pabrik genteng Sokka. (Foto: Wiradesa)

KEBUMEN – Cuaca di musim hujan yang kerap tiba-tiba mendung mempengaruhi proses produksi genteng Sokka di wilayah Kebumen. Proses pengeringan genteng di rak akan memakan waktu lebih lama.

Proses produksi genteng berbahan baku tanah liat memang sangat bergantung pada cuaca. Sarbani, salah satu produsen genteng Sokka di Kebulusan Kecamatan Pejagoan mengatakan, setelah dicetak genteng tak langsung dijemur tapi mesti diangin-anginkan terlebih dahulu. Lama waktu diangin-anginkan di rak tergantung cuaca.

“Saat banyak hujan seperti sekarang bisa butuh waktu hingga seminggu diletakkan di rak. Kalau musim kering tak banyak mendung dan hujan, proses lebih cepat. Tiga hari di rak sudah siap dijemur,” kata sosok yang akrab disapa Ani kepada wiradesa.co Senin 5 Desember 2022.

Proses cetak genteng di pabrik dengan kapasitas 8 ribu rak genteng mempekerjakan empat orang tenaga kerja.

Dengan tujuh jam kerja, produksi cetak genteng harian mencapai 800 genteng. Para pekerja selain mencetak genteng juga nyambi menjemur serta mengangkat kembali genteng yang telah kering.

“Proses cetak diborongkan. Upahnya Rp 300 pergenteng kering dari proses cetak. Kalau tanah liat siap cetak beli kepada penyedia. Tidak ambil tanah sendiri di sawah lalu mengolah. Beli kueh (tanah liat siap cetak) satunya Rp 320,” sambungnya.

Baca Juga:  Pemerintah Desa Tambakagung Salurkan BLT Dana Desa Bulan Kesembilan

Biaya proses produksi genteng selanjutnya yakni biaya pembakaran genteng setelah kering. Dengan tungku kapasitas bakar hingga 18 ribu genteng, butuh biaya pembakaran Rp 5 juta. Biaya tersebut diperuntukkan buat beli kayu bakar dan upah tenaga pada proses pembakaran.

“Industri genteng Sokka sifatnya sangat mengandalkan tenaga manusia dari proses pengambilan tanah, cetak kueh, cetak kueh jadi genteng, penjemuran, pengangkatan dari rak ke tobong (tungku), penataan di tungku, pembakaran hingga pengeluaran dari tungku, sortir dan pemuatan atau pengiriman. Semua mengandalkan tenaga manusia,” imbuh Ani.

Meski menyerap tenaga kerja, namun mencari pekerja yang bersedia mengolah genteng di pabrik diakui Ani makin sulit. Beda dengan dulu satu pabrik bisa mempekerjakan hingga delapan orang. Sekarang umumnya satu pabrik mempekerjakan empat orang. “Tenaga kerja muda umumnya sekarang memilih merantau. Sedikit yang mau kerja di pabrik genteng. Mungkin karena upahnya rendah dan kerjanya berat,” kata Ani.

Turimah, salah satu pekerja di pabrik milik Ani mengatakan, meski berat baginya tak ada pilihan kerja lainnya. Meski perempuan asal Karangpoh Pejagoan ini sudah tak lagi menyekolahkan anak, namun tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari memaksanya bekerja mandi keringat membantu mengangkat genteng usai dicetak dan menaruhnya di rak. Satu kali usung tiga genteng ia bawa ke rak. Dua di tangan kanan satu di tangan kiri. Sebelum diangkat genteng dibuang sisa pres-presan tanah yang ada di bagian pinggir genteng.

Baca Juga:  Anak Usia Dini Belajar Pilah Sampah

“Apa-apa mahal. Bantuan-bantuan macam BLT nggak dapat. Bahkan kala kemarau air bersih pun harus beli karena rumah ada di pegunungan. Jadinya meski berat dijalani harus tetap berangkat kerja. Hujan jalan licin jalan kaki tetap berangkat,” ujar Turimah yang mendapat upah kerja Rp 35 ribu perhari tanpa jatah makan siang.

Ditambahkan Ani, dengan kapasitas tobong 18 ribu genteng, tingkat kegagalan pada proses pembakaran tetap ada alias hasil obong tak bisa mulus 100 persen. Di musim hujan, jumlah genteng pecah atau disebut genteng rempon makin bertambah. “Kala musim hujan obong 18 ribu paling yang bagus 15 ribu genteng. Sisa 3 ribu masuk KW 3 dan rempon. Kalau musim terang, genteng dijemur kering betul, tingkat keberhasilan obong memang lebih banyak. Rempon yang dihasilkan lebih sedikit. Bisa selisih seribuan genteng,” paparnya.

Soal harga genteng, lanjut Ani, tak bergantung musim kemarau atau hujan. Harga jual genteng lebih banyak dipengaruhi mekanisme permintaan pasar. Manakala permintaan pasar meningkat, genteng langka dipastikan harga jual genteng melambung. Namun sebaliknya bila permintaan menurun jumlah genteng melimpah harga langsung anjlok.

Baca Juga:  Usia 85 Tahun Masih Aktif Bekerja

“Kala harga turun anjlok, yang penting asal jalan dan bisa produksi. Baru lega kala harga sudah naik kembali,” ucap Ani sembari menuturkan banyak pabrik genteng Sokka yang tutup hal itu tak lepas dari berbagai persoalan yang dihadapi para pemilik pabrik. Mulai dari kurang telaten hingga adanya kendala lain seperti susahnya mencari pekerja. Sedangkan untuk pemasaran diakuinya produksi genteng Sokka masih menjanjikan lantaran terjual ke berbagai daerah khususnya wilayah Jawa Tengah dan DIY.

“Penjualan ke banyak daerah apalagi sekarang banyak yang pesan dan beli lewat pemasaran online,” pungkasnya. (Sukron)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *