BANTUL – Pengelolaan sejumlah obyek wisata di Mangunan, Dlingo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sering menjadi tempat ‘studi banding’ bagi berbagai pihak. Hampir setiap minggu ada rombongan yang ingin belajar di Koperasi Jasa Noto Wono, pengelola 10 obyek wisata di perbukitan Muntuk dan Mangunan.
Koperasi Jasa Noto Wono yang diketuai Purwo “Ipung” Harsono selama ini mengelola 10 distinasi wisata, yakni Pengger, Becici, Lintang Sewu, Pintu Langit, Pinus Sari, Pinus Asri, Seribu Batu, Bukit Panguk, Mojo, dan Nata Damar. Wisata desa berbasis hutan dan alam perdesaan itu, semuanya ramai dikunjungi wisatawan.
Kenapa obyek wisata yang dikelola Noto Wono umumnya booming atau cepat sukses? Bagaimana caranya mengajak masyarakat agar percaya dan mau membangun wisata? Modal awalnya dari mana? “Tiga pertanyaan itu sering ditanyakan rombongan studi banding ke sini Mas,” ujar Purwo “Ipung” Harsono, saat berbincang dengan Wiradesa.co di Kedai Kopi Nata Damar Mangunan, Sabtu 29 Oktober 2022.
Nyeruput kopi susu gula aren di Kedai Kopi Nata Damar, sambil memandang indahnya perbukitan Mangunan, sungguh nikmat. Apalagi bertemu dan berbincang langsung dengan tokoh di balik kesuksesan pengelolaan wisata desa berbasis hutan dan masyarakat perdesaan di Mangunan. Sudah cukup lama, masyarakat perdesaan Mangunan terbelenggu kemiskinan. Sehingga untuk memerdekakan masyarakat desa dari belenggu kemiskinan perlu perjuangan yang berat dan melelahkan.
Jujur, bangsa Indonesia, khususnya yang hidup di perdesaan Mangunan, belum merdeka sepenuhnya. Jika dulu, bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing atau penjajah, sekarang dijajah oleh kemiskinan. Untuk memerdekakan diri, sama-sama perlu pejuang. Dulu pejuang untuk memerdekakan bangsa dan negara dari penjajah, sekarang pejuang untuk memerdekakan diri dari belenggu kemiskinan.
“Karakter pejuang itu sama, berani berkorban jiwa raga untuk memerdekakan diri dari penjajah. Kalau perlu, nyawa pun dipertaruhkan untuk perjuangannya,” tegas Mas Ipung, panggilan akrab Purwo Harsono.
Mengelola wisata desa itu, sejatinya merupakan upaya masyarakat desa untuk memerdekakan diri dari belenggu kemiskinan. Warga desa sudah bertahun-tahun dijajah oleh kemiskinan. Dampaknya tidak hanya kebutuhan pokok hidup yang tidak terpenuhi, tetapi juga pola pikir orang terjajah. “Merubah pola pikir ini susahnya minta ampun,” ungkap Mas Ipung.
Menatap rimbunnya pepohonan di perbukitan dan kokohnya bangunan makam Raja-raja Mataram dari Nata Damar Mangunan, sungguh menakjubkan. Pikiran melayang ke masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Untuk meraih kemerdekaan perlu perjuangan. Untuk mengentaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan perlu perjuangan. Dan perjuangan ini memerlukan pejuang yang tangguh.
Sehingga, rombongan studi banding, khususnya yang ingin mengelola wisata desa, harus ada tokoh berkarakter pejuang di balik usahanya. Tanpa ada tokoh pejuang yang berani berkorban jiwa raganya untuk memerdekakan diri dari kemiskinan, maka jangan harap kesuksesan wisata dapat diraih.
Kenapa obyek wisata yang dikelola Noto Wono umumnya booming atau cepat sukses? “Itu perlu perjuangan yang tidak mengenal lelah. Prosesnya panjang dan penuh tantangan,” jelas Mas Ipung. Perjuangan itu mulai dari menyiapkan dasar hukum pengelolaan lahan, merubah pola pikir masyarakat, dan menghadapi orang-orang yang senang bermasalah. Masih ada orang-orang yang tidak suka, kalau orang lain itu lepas dari belenggu kemiskinan.
Bertahun-tahun Mas Ipung mengurus legalitas pengelolaan hutan lindung untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Harus menyiapkan draft yang sesuai undang-undang dan peraturan serta lobi ke berbagai pejabat mulai dari daerah sampai pusat. Kemudian menyiapkan masyarakat agar menjadi pelaku wisata yang baik. Juga menyiapkan dana awal untuk membangun distinasi wisata. “Itu semua perlu perjuangan, bukan ujuk-ujuk terus sukses,” kata Mas Ipung.
Bagaimana caranya mengajak masyarakat agar percaya dan mau membangun wisata? “Mengajak masyarakat agar mau bareng-bareng membangun tempat wisata itu juga tidak gampang,” tegas Mas Ipung. Seorang tokoh, tidak hanya cukup dengan omongan saja untuk mengajak masyarakat, tetapi harus dengan perbuatan nyata. Keteladanan.
Suatu pagi, sekitar jam 6, saat masih sepi, belum ramai aktivitas warga, Mas Ipung datang ke Becici dan menyapu lokasi wisata serta membuang sampah di tempat yang sudah disediakan. Maksudnya, memberi keteladanan, agar tindakannya itu ditiru oleh warga setempat yang bekerja di Becici. Tapi ternyata pesan itu tidak sampai.
Pesan yang tidak dipahami warga desa itu terungkap pada rapat warga pengelola obyek wisata Becici. Saat Ketua Koperasi Jasa Noto Wono bertanya kenapa setiap pagi tidak ada warga yang menyapu di lokasi wisata, jawaban dari seorang warga. karena sudah ada yang menyapu. Ini jawaban orang yang sudah lama terbelenggu kemiskinan. Diberi contoh, tetapi tidak mengerti.
Kemudian ada warga yang jualan di obyek wisata Pinus Sari yang membuang air bekas cucian, seenaknya sendiri. Karena tindakannya, lingkungan menjadi kotor, bau, dan membuat wisatawan merasa tidak nyaman. Orang tersebut sudah diberitahu berulang kali, tetapi sikapnya tidak berubah. Ini juga tipe orang yang sudah lama terbelenggu kemiskinan.
Untuk merubah pola pikir warga yang sudah lama terbelenggu kemiskinan, tidak gampang. Perlu cara khusus untuk merubahnya. Kadang dinilai kurang manusiawi. Tapi itu harus dilakukan demi mengentaskan mereka dari belenggu kemiskinan. “Saya biasanya menggunakan efek kejut. Seperti membanting piring di depan warga yang membuang bekas air cucian di sembarang tempat. Dengan cara itu, warga akan terus teringat dan takut jika membuang limbah sembarangan. Apalagi jika melihat saya,” papar Mas Ipung sambil tersenyum.
Untuk pertanyaan. modal awalnya dari mana? Mas Ipung berprinsip untuk meyakinkan orang, maka harus ada karya. Membuat tipak dulu. Hindari meminta warga untuk iuran. Cara itu pasti akan ditolak. Jadi harus berkorban dengan modal pribadi untuk mengawali usaha wisata. Ajarkan warga untuk tidak boleh meminta dan tidak mau dikasih. Harus berjuang sendiri untuk memerdekakan diri dari belenggu kemiskinan. “Kalau ingin berubah, mulailah dari diri sendiri, jangan mengandalkan orang lain. Pihak lain itu hanya percepatan,” tegas Mas Ipung.
Mental peminta-minta harus dibuang jauh. Kebiasaan nyadong harus dilarung. Lorot Bethoro Cadhong dari kehidupan warga perdesaan. Tanamkan pada diri warga desa, kita sedang berjuang untuk tidak miskin dan bodoh. Bukan orang yang biasa meminta-minta dan suka menerima bantuan. (Sihono HT)