Indonesia sebagai salah satu negara mega-biodiversitas terbesar di dunia, dari beragam kekayaan spesies flora fauna dan mikrobiotik yang hidup di ekosistem darat, perairan tawar, lahan basah, pesisir dan laut. Namun begitu, kondisinya saat ini terus mengalami tekanan kerusakan dan ancaman kepunahan. Disisi lain, kondisi biodiversitas belum dapat diukur status, tren serta dampak secara nasional dari kegiatan antroposentris.
Solusi untuk mengatasi masalah tersebut, Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), sejak tahun 2019 telah menginisiasi penyusunan Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) melalui kegiatan MBKM-Kurator Data Hayati yang diikuti 514 mahasiswa yang berasal dari 104 Perguruan Tinggi dalam rangka menghimpun dan menyusun data keanekaragaman hayati di Indonesia. “Kita telah berhasil mengumpulkan data 11.137 keanekaragaman hayati,” kata Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono kepada wartawan Senin (29/4) dalam rangka sosialisasi hasil Seminar Konsultasi Hasil Analisis Indeks Biodiversitas Indonesia, yang berlangsung di Jakarta, Jumat (26/4) lalu.
Menurut Budi, analisis indeks keanekaragaman hayati ini melalui pengembangan pemanfaatan teknologi big data biodiversitas untuk menjawab gap pengetahuan soal data biodiversitas saat ini. “Pemanfaatan big data ini khususnya untuk mengukur status, tren dan dampak kegiatan pembangunan terhadap biodiversitas di habitatnya,” kata Dekan Fakultas Biologi UGM ini.
Pengumpulan data 11.137 keanekaragaman hayati ini menurut Budi selanjutnya akan dianalisis lebih dalam oleh para ahli dan kurator yang kompeten di bidangnya. Dengan dukungan desain kosep dan model yang kuat, serta komposisi keahlian dan juga pengetahuan yang tepat dalam tim studi, akan dapat mengoptimalkan produk pengetahuan baru dari pemanfaatan big data.
Budi berharap, hasil assessment Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) dapat menjadi acuan data dan pedoman visual bagi para praktisi di bidang keanekaragaman hayati serta menjadi usulan untuk perencanaan bagi pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan dan pengambilan keputusan dengan melihat status dan tren keberlanjutan biodiversitas untuk ekosistem dan alam di Indonesia.”Kita ingin keberadaan IBI bisa memberikan hasil perhitungan indeks yang teruji secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan bersama untuk pengelolaan lingkungan dan biodiversitas yang kredibel di Indonesia,” harapnya.
Manajer WWf Indonesia sekaligus anggota tim riset Indeks Biodiversitas Indonesia, Barano Siswa Sulistyawan, Ph.D., menyatakan kurasi data keanekaragaman hayati ini berdasarkan pengumpulan data rentang tahun 1975 hingga tahun 2023
Perolehan data yang diperoleh selanjutnya dilakukan sensus populasi, pendugaan populasi, kepadatan termasuk data yang dikonversi dari kamera trap, indeks kemelimpahan, pengangkutan per unit usaha, biomassa, sampel dan keterwakilan.
“Semua data yang masuk dalam penyimpanan dan update melalui system Indonesia Biodiversity Database server, lalu dilakukan koreksi geografi lokasi hasil pengamatan sesuai dengan laporan publikasi, melakukan join table dna strukturisasi data sesuai dengan format untuk dianalisis,” ujarnya.
Namun yang tidak kalah penting menurutnya adanya koreksi terhadap semua data input untuk validasi penulisan sesuai kategorisasi data. Alumnus Fakultas Biologi UGM ini menerangkan bahwa kini tengah melakukan indeks keanekaragaman hayati dalam kategori per kelas seperti analisisi yang dillakukan untuk kelompok actinopterygii, aves, mammalia, reptilia dan invertebrata. (*)