Lurah Srimulyo: Otonomi Desa Omong Kosong

Lurah Srimulyo Drs Wajiran dan Sekretaris Nurjayanto ST. (Foto: Wiradesa)

BANTUL – Undang-undang Nomor 6/2014 tentang Desa dirancang untuk membuka peluang bagi desa agar mandiri dan otonom. Diharapkan pemerintah desa bisa mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang didesentralisasi. Namun kenyataannya, pemerintah desa hanya pelaksana kebijakan dan proyek pemerintah di atasnya.

“Otonomi desa itu omong kosong,” ujar Drs Wajiran, Lurah Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ditemui Wiradesa.co di kantornya, Jumat 28 Oktober 2022. Menurutnya, pemerintah desa itu hanya pelaksana proyek pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten.

Contohnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pemerintah pusat sudah mengatur uangnya 40 persen dari Dana Desa, penerimanya berdasarkan data yang disodorkan, besarnya Rp 300.000 per bulan. Pemerintah desa tidak punya kewenangan untuk menentukan jumlah dana, siapa yang layak menerima, dan besarnya berapa.

Program pemerintah dari atas itu tidak hanya BLT, tetapi juga Bantuan Langsung Non Tunai (BLNT), PKH, Raskin, dan lainnya. Semuanya sudah diatur dari pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah desa hanya pelaksana dan jika tidak sesuai aturan, akan menjadi temuan yang berdampak hukum.

Baca Juga:  Pasar Kebon Empring Makin Besar Kumandange

Meski sering tidak sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya warga desa, tetapi pemerintah desa tidak bisa berbuat apa-apa. Mau merencanakan program yang diusulkan warga, anggarannya sudah tersedot untuk membiayai program pemerintah pusat. “Bagaimana bisa mandiri, bagaimana bisa otonom wong semuanya sudah diatur dan diintervensi. Jadi otonomi desa itu omong kosong,” tegas Wajiran.

Apa yang dikeluhkan Lurah Srimulyo itu sudah diprediksi Prof Dr Hanif Nurcholis MSi, guru besar yang memiliki kepedulihan terhadap tata kelola desa. Dalam makalahnya “Otonomi Desa Antara Realita dan Harapan”, Prof Hanif menyimpulkan otonomi desa dalam pengertian local self-government itu tidak ada, karena desa bukan local government. Pemerintah desa hanya state corporatism.

Jadi otonomi desa yang sesuai UU Nomor 6/2014 tentang Desa itu hanya pepesan kosong, karena mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan tapi tidak satupun dapat diurus secara operasional. Faktualnya, pemerintah desa hanya pelaksana kebijakan dan proyek pemerintah atasan.

Pemerintah desa tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas mengatur dan mengurus 117 urusan sesuai undang-undang desa. Pemerintah desa bagai gerobag sapi yang difungsikan sebagai kereta api. Apa jadinya? Ya tidak mampu, muatannya banyak yang tak terurus, tercecer, mangkrak, rusak, hilang, dan jadi rayahan.

Baca Juga:  SIWO Sleman Gelar Rapat Kerja

Bahkan Prof Hanif menyebutkan pemerintah desa itu sekarang jadi tempat buang proyek infrastruktur, BUMDes, PKH, BLT, BLNT, Raskin, Pelatihan Perangkat Desa, Pra Kerja, Pemberdayaan Masyarakat, Rumah Sehat, Bedah Rumah, Sensus Penduduk, Pantarlih, dan lainnya. Siapa yang lebih diuntungkan, ya pembawa proyek. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *