KOTA YOGYA – Bagi pengunjung yang baru pertama kali datang ke Warung Bakmi Jawa Mbah Gito di Jalan Nyi Ageng Nis, Rejowinangun, Kotagede, boleh jadi akan bilang; wow luar biasa!. Takjub pada keunikan desain bangunan, tempat duduk sederhana tapi nyentrik belum lagi ketika mengamati pernak-pernik hiasan dinding.
Sugito, perancang bangunan sekaligus pemilik warung menuturkan, material bangunan sebenarnya biasa saja. Sebagian justru berasal dari kayu-kayu bekas bongkaran kandang sapi. Sosok yang akrab disapa Mbah Gito kemudian banyak berkisah seputar warung dan usaha kulinernya.
“Buka usaha, tidak hanya kuliner. Apa saja boleh. Yang penting tangguh dalam menjalani. Berani mencoba. Nanti kalau sudah dicoba kok nggak benar, tinggal dievaluasi. Jangan kalau baru 2-3 bulan nggak laku, terus nggak betah dan ditinggalkan begitu saja. Usahakan jangan seperti itu. Pesan saya, agar bisa bekerja dengan profesional, yang utama, kualitas harus terus dijaga,” ucap Mbah Gito, Selasa, 30 Maret 2021.
Perjalanan Hidup Mbah Gito Sebelum Buka Usaha Bakmi
Mbah Gito menuturkan, 2008 adalah awal ia memulai usaha kuliner bakmi. Tentu, bangunan awal masih belum seluas saat ini. Inisiatif membangun warung makan dengan bangunan unik dan tidak lumrah berangkat dari latar belakangnya sebagai orang desa. Dahulu, sewaktu masih tinggal di desa, Mbah Gito sering membuat gubuk. “Kalau di desa membuat gubuk seadanya, kemudian langsung ditempati,” jelasnya.
Untuk bisa seperti sekarang Mbah Gito menguraikan, perjalanan yang ditempuh cukup panjang. Sembari mengingat-ingat, Mbah Gito menaksir kurang lebih 5 tahun waktu yang mesti ditempuh. “Jadi waktu buka 2008, sampai 5 tahun, pada 2013 baru laku dan mulai dikenal banyak kalangan,” ucapnya.
Menurut penuturan Mbah Gito, selama 5 tahun ia kerap merugi karena uang modal tak kembali. Bahkan sering harus tombok. Namun, semenjak kedatangan Herry Zudianto dan merasa cocok dengan menu beserta tempat, saat berkunjung kembali, mantan Walikota Yogyakarta itu kerap membawa tamu dari berbagai tempat dan profesi.
Hal itu bisa dibuktikan dengan foto-foto yang berada di sekitar pintu masuk dan dekat dengan tempat kasir. Di situ, terpampang banyak foto para pengunjung warung. Mulai dari kalangan pejabat, artis, hingga pengusaha.
Dalam perjalanan mengelola warung yang kala itu masih satu lantai, Mbah Gito ditemani 4 karyawan. Namun, terkadang hanya 1-2 karyawan yang datang. “Seminggu laku, 3 minggu tak laku, tapi dijalani terus,” katanya.
Bagi pria kelahiran Gunungkidul tersebut, segala sesuatu tak lepas dari kemantapan. Keberanian untuk mencoba menjadi komitmen kuat. Juga berkat kekuatan media dan peran para wartawan yang meliput. Mbah Gito mengaku, bersyukur warung makannya bisa dikenal banyak kalangan seperti saat ini. Seiring bertambahnya usia dan warung terus berkembang, Mbah Gito kini mulai menyerahkan urusan manajemen warung kepada anaknya.
Jatuh Bangun Mendirikan Warung Bakmi
Mbah Gito mengakui, perkembangan warung miliknya termasuk agak lamban di masa tiga tahun pertama. Bahkan, warungnya nyaris ditutup lantaran merugi. Mbah Gito terus berjuang dan berusaha agar bisa mengais rezeki untuk menghidupi diri beserta keluarga.
Sebelumnya, Mbah Gito pernah merantau ke Magelang, ikut Pak Lik. Kemudian, pindah ke Yogyakarta berjualan bakso. Selanjutnya mencoba melamar PNS dengan bekerja magang terlebih dahulu. Alasan kurang betah, Mbah Gito kembali beralih jadi pedagang, berjualan bakmi keliling di kawasan Prawirotaman.
Mbah Gito merasa ingin mencari pengalaman lain, karena saat itu bakminya belum laris. Usai mengambil les setir mobil, Mbah Gito bekerja sebagai sopir pada sebuah usaha kerajinan di Wirobrajan.
Pengalaman celaka sebagai sopir, juga pernah ia alami. Selepas jadi sopir, Mbah Gito bekerja dengan seorang Tionghoa. Selama 30 tahun, Mbah Gito menetap di pekerjaan terakhir ini sebagai sales hasil bumi, yaitu dari tahun 1978 sampai 2008.
Selama menjadi sales yang terkadang diplot memegang peran mandor, integritas Mbah Gito kerap diuji. Di tengah persoalan ketika ada sopir yang berbuat curang mengurangi timbangan, maupun ketika ada pelanggan yang tidak jujur, ia tetap berupaya menjaga kejujuran dan tanggung jawab di profesi yang digeluti.
Bersandar pada kejujuran dan rasa tanggung jawab, menjadi prinsip hidup yang terus dibawa oleh bapak dari dua anak tersebut. Mengenai kekurangan dari menu masakan, Mbah Gito juga mengatakan, sejak didirikannya warung bakmi pada 2008, ia membuka diri dan banyak belajar dari para pelanggan.
Keunikan Bangunan
Warung Makan Bakmi Mbah Gito, dibangun dari bahan material bekas, dengan tak meninggalkan ciri keunikan dan kekhasan. “Ada pohon-pohon jadi limbah dipasang, ada kandang sapi dipasang. Rumah reyot tak pasang. Akhirnya, jadi untuk tempat makan bakmi jawa, begini,” ungkapnya.
Soal tempat, Mbah Gito mengatakan, konsep yang diusung ialah “jawa ndeso”. “Jadi si mbah bikin seperti ini ya, ingat waktu hidup di desa. Kayu-kayunya ini nggak dipasak, diplitur. Jadi ya seperti ini,” urainya.
Bagi Mbah Gito, konsep bangunan yang diusung itu mudah tapi sulit. Sebab, menempatkan barang yang bengkok, perlu diperkirakan matang-matang. Ia pun memilih untuk menangani sendiri, tidak dipasrahkan ke tukang. Mulai dari desain bangunan, tempat duduk, hiasan, dan lain-lain, ia buat agar semenarik dan senyaman mungkin buat para pengunjung.
Sebab material yang dipilih dari barang bekas dan limbah, sebelum dipasang, kayu-kayu harus disterilkan dan diobati terlebih dahulu, agar tak mudah dimakan rayap. “Jadi memang harus jeli. Tidak asal pasang. Biar pun natural apa adanya, tetap diopeni supaya jangan sampai rusak,” jelasnya kemudian.
Pada 2008, bangunan terdiri dari satu lantai. Seiring berjalannya waktu, setelah 2014 dan 2015, bangunan mulai mengalami perkembangan, mengikuti situasi dan kondisi yang ada.
Mulai dari tiang, dinding dan atap, meninggalkan kesan unik ke para pengunjung. Perhatian begitu memasuki warung Bakmi Jawa Mbah Gito, akan terpana pada desain interiornya yang tak biasa. Apalagi ketika menjumpai berbagai peralatan pertanian yang terserak pada dinding serta bagian lain. Suasana bersantap di malam hari pun ditaburi eksotisnya pendaran lampu kuno.
Mbah Gito menjelaskan satu persatu peralatan pertanian yang sengaja dipasang sebagai hiasan dinding. Di salah satu sisi dinding warung tampak ada sabit, wluku, icir, brosong, garu, wadung, lesung, kepis penangkap ikan. Di bagian lain terdapat pula getepe atau anyaman daun kelapa dilapiskan pada dinding warung.
Ciri Khas Menu
Aneka varian bakmi godok campur, bakmi godok kuning, godok bihun, bakmi campur goreng, bihun goreng, bakmi godok spesial, bakmi goreng spesial, magelangan godok, jadi andalan di antara menu lain. Selain itu, ada juga nasi goreng, kupat tahu, gado-gado, rica-rica ayam kampung, cap cay godok dan cap cay goreng.
Bagi Mbah Gito, kunci kelezatan olahan bakmi jawa harus menggunakan ayam kampung dan telur bebek. Di samping paduan berbagai macam bumbu, juga memakai mie tradisional, bukan mie pasaran. Yang tak kalah penting, Mbah Gito selalu terbuka jika ada komplain dari para konsumen. Sebab baginya, kualitas adalah yang utama.
Tesa, salah satu pelanggan Warung Makan Bakmi Mbah Gito, mengakui kualitas dan rasa menu yang disajikan. “Rasanya enak, sepertinya tanpa penyedap dan ayamnya banyak. Suasananya juga menyenangkan,” terangnya.
Pada awalnya, karena makanan masih segar dan baru dimasak ketika ada pesanan, ketika ada banyak tamu, Mbah Gito membutuhkan waktu cukup lama. Bisa 1-2 jam. Namun untuk saat ini, berangkat dari pengalaman sebelumnya, untuk proses pengolahan makanan hingga siap saji, tak lebih dari setengah jam.
“Jadi si mbah punya trik, biar cepat itu seperti apa. Sekarang, biar pun tamu mencapai 100-300, tetap cepat. Kalau banyak, si mbah minta konfirmasi dulu, supaya pesan dulu. Tapi tetap, kalau tamunya belum datang, ya belum kami masak. Soalnya nanti nggak enak. Ya, kami mengupayakan untuk selalu profesional,” lanjutnya.
Selain menyajikan makanan, Warung Bakmi Mbah Gito juga menyediakan aneka minuman. Yang menjadi favorit, salah satunya teh poci. Warung Makan Mbah Gito buka setiap hari kecuali libur hari besar seperti hari raya dan hari kurban. Sebelum pandemi, dari pukul 11.00-23.00. Karena pandemi, menjadi 11.00-21.00.
Terkait tenaga kerja, Mbah Gito mengupayakan secara bergilir. Yaitu, 6 hari dalam seminggu, dengan durasi 8 jam/harinya. Sebagai usaha mematuhi protokol kesehatan, pelanggan selama masa pandemi juga dibatasi, yaitu berkisar 25% dari sebelum pandemi. Jumlah karyawan yang sebelumnya berjumlah 40, kini menjadi 15 orang.
Membuka Usaha Kuliner Sembari Nguri-uri Budaya
Sebelum pandemi, Mbah Gito rutin menggelar pentas kesenian termasuk pertunjukan wayang ringkes dengan tujuan nguri-uri budaya Jawa. Hal itu dilakukan sekali dalam satu atau dua minggu. Guna mendanai itu semua, Mbah Gito rela mengeluarkan uang dari saku pribadi.
Dalam perbincangan, Mbah Gito mengaku senang jika usahanya bisa menghidupi para karyawan. Di samping itu, dari usaha kuliner, ia bisa ikut berpartisipasi nguri-uri budaya Jawa. Berkat kerutinan Mbah Gito menghadirkan kesenian dan budaya Jawa di warungnya, membuat pengunjung senang ketika disuguhi cokekan dan karawitan tembang-tembang Jawa. (Septia Annur Rizkia)