Pemkab Klaten Didesak Membuat Konservasi Rojolele

Pemkab Klaten Didesak Membuat Konservasi Rojolele
Eksan Hartanto, Ketua Paguyuban Rojolele (Foto: Wiradesa)

KLATEN – Bicara beras, bicara Delanggu Klaten, orang pasti berpikir beras rojolele. Terbayang juga rasa pulen dan aroma wangi khas beras rojolele. Tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa gara-gara di kambing hitamkan, kini rojolele sudah langka di Klaten dan khususnya di Delanggu.

“Semenjak varietas rojolele dikambinghitamkan dan dilarang dibudidayakan karena dicurigai sebagai varietas yang sangat rentan diserang hama,” kata Wenang Swasono, Ketua KTNA Kabupaten Klaten. Celakanya menurut Wening pengkambinghitaman itu diikuti dengan larangan menanamnya.

Hal senada juga dikemukakan oleh Eksan Hartanto Ketua Sanggar rajolele dari Delanggu. Dia menurutkan pelarangan penanaman rojolele dan varietas lokal lainnya terjadi pada tahun 1990an. “Praktis, petani tidak ada yang menanam rojolele dan varietas lokal lainnya,” tuturnya.

Baik Eksan maupun Wening mengakui hilangnya atau langkanya varietas lokal termasuk rojolele ini, diperparah dengan kemunculan varietas-varietas padi baru seperti Mentik Wangi dan Pandan Wangi. “Selain regulasi yang mengharuskan untuk swasembada pangan yang berdampak terpinggirkan secara perlahan varietas lokal unggulan termasuk di dalamnya rojolele atau pari Wulu. Selanjutnya tergantikan varietas GMO dari pemerintah,” ungkap Eksan.

Baca Juga:  Masuki Masa Tenang Pemilu, Ahmad Subagya Tengarai Banyak Komprador Perkeruh Suasana

Ditambahkan oleh Eksan, faktor lamanya usia tanam dan bergesernya praktik gotong royong petani dalam budidaya padi zaman dulu tergantikan pola yang transaksional. “Hal ini dikarenakan para petani di Delanggu bergeser dari petani sawah sendiri menjadi petani penggarap (tidak memiliki sawah sendiri),” tambahnya.

Baik Eksan maupun Wening sepakat untuk mendorong kepada pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Klaten untuk membuat semacam program konservasi varietas lokal, terutama beras wulu atau rojolele yang sudah menjadi trademark Klaten khususnya Delanggu. “Saya mendorong, mendesak kepada pemerintah Kabupaten Klaten untuk membuat program konservasi varietas beras lokal khususnya rojolele,“ tegas Wening.

Hal senada juga dikemukakan oleh Eksan. Menurutnya konservasi varietas lokal khususnya Rojolele ini sudah sangat urgen. “Karena ini merupakan bagian-bagian ketahanan budaya tani lokal, karena rojolele indukan (wulu) adalah identitas daerah dalam hal ini Delanggu yang sangat lekat dengan varietas premium tersebut hingga seantero nusantara sejak dulu hingga kini. Maka perlu ada upaya mempertahankan varietas indukannya tersebut,” tegas Eksan.

Baca Juga:  Kampung Zakat, Tingkatkan Kesejahteraan Umat

Lebih lanjut Eksan mengatakan, sangat setuju dengan upaya konservasi rojolele, dengan catatan Pemerintah Kabupaten Klaten dalam hal ini Dinas Pertanian Kabupaten Klaten harus ada cetak biru programnya sejak awal. Meliputi penanganan budidaya padi rojolele indukan (wulu) dari pra-tanam, tanam, post-produksi hingga sampai hilir penjualan.

Langkah konservasi ini semakin mendesak karena, ternyata gerakan revolusi hijau oleh Orde Baru dan mengkambinghitamkan rojolele tidak sepenuhnya benar. “Hama dan penyakit tanaman selalu ada karena ekologi dan ekosistem lahan pertanian sudah berubah. Tidak seimbang, tidak lestari dan tidak berkelanjutan. Jadi bukan karena rojolele-nya,” ungkap Wening.

Di sisi lain, ternyata kualitas hasil dari rekayasa genetik turunan dari rojolele, tidak bisa menyamai kualitas dari beras rojolele asli. Seperti diketahui pemerintah pada tahun 2019  Meluncurkan rojolele varietas baru, yaitu varietas rojolele srinar dan srinuk. Srinar dan srinuk merupakan varietas rojolele  hasil penelitian dengan teknologi nuklir, selama kurang lebih enam tahun kerja sama Pemerintah Kabupaten Klaten dengan Badan Atom Nasional (Batan).

Baca Juga:  Berhasil Ungkap Penculikan Anak, 26 Polisi Dapat Penghargaan

Perbandingan varietas rojolele asli dan hasil inovasi ada perbedaan yang jauh. Jika yang rojolele asli berumur kurang lebih enam bulan, sedangkan hasil inovasi hanya sekitar 120 hari dan untuk tinggi sebelumnya 150 cm kini hanya berkisar 90 cm.

Keunggulan hasil inovasi baru ini mengabaikan rasa. Setidaknya, demikianlah yang dikemukakan oleh beberapa orang yang sudah merasakan. Jurnarso yang mengaku sudah mendapatkan dan merasakan langsung rojolele varietas baru menyatakan berbeda. “Wanginya, pulennya tidak bisa menyamai rojolele asli. Khas sekali kok rasa rojolele asli itu,” ungkapnya. (HB. Budiyanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *