BANTUL – Pondok Pesantren ISC Aswaja Lintang Songo di Pagerjurang, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengolah kebun dan persawahan untuk kemandirian pangan santri. Lahan seluas 4 hektar yang dulu tandus, sekarang menghijau dengan tanaman padi, sayur mayur, buah-buahan, bunga, dan berbagai tanaman herbal.
Para santri yang berjumlah 70 orang, tidak hanya diajarkan ilmu agama, mulai tauhid, fikih, dan akhlak, tetapi juga dididik untuk mencintai dan merawat alam. Bagaimana berternak ayam, kambing, dan sapi. Menanam padi, sayur mayur, dan buah-buahan, serta memelihara ikan.
Dari situ secara bersama-sama, para santri bisa mandiri dari persoalan pangan. Padahal latar belakang para santri itu umumnya bermasalah, ada yang kecanduan narkoba, sering mabuk-mabukan, maling, dan anak keluarga broken home.
“Anak-anak yang nyantri di sini itu, biasanya bermasalah. Ada yang pakai anting, rambutnya punk, badan penuh tato, dan dari keluarga berantakan,” ujar KH Heri Kuswanto, pimpinan Ponpes ISC Aswaja Lintang Songo, Minggu (24/1/2021).
Kyai Heri menjelaskan, Pesantren Lintang Songo menerima siapa saja yang ingin nyantri. Pihak pengelola tidak melakukan seleksi. Waktu pendaftarannya juga bebas. Bisa pagi, siang, malam, dan kapan saja. Para santri tidak membayar, tetapi diajarkan untuk bekerja.
Ada tiga yang ditekankan pada pengajaran di Pesantren Lintang Songo, yakni berkualitas, mandiri, dan bermanfaat. Santri diajarkan untuk memahami Islam secara kafah, mendidik keterampilan, dan menjadikan para santri peduli sosial.
“Kami prihatin ada yang pintar ngaji, tapi bingung cari kerja. Ada yang kaya tapi tak ngerti agama. Jadi, kami berupaya menjangkau keduanya, santri bisa ngaji sekaligus bisa tercukupi hidupnya, atau kebutuhan pangannya tercukupi,” tegas Ketua LPPNU DIY ini.
Lintang Songo Garden yang memiliki luas 4 hektar itu sekarang menjadi pusat pendidikan dan latihan santri di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Seluas 3,5 hektar dimanfaatkan untuk menanam padi. Sisanya untuk tanaman lainnya. “Kemandirian pangan harus ada, dalam agama tidak boleh meminta. Kalau diberi baru kita terima,” jelas Heri.
Dalam mengolah kebun dan persawahan, di Lintang Songo Garden tidak ada teorinya. Santri tidak banyak dicekoki teori, tetapi langsung praktik. Misal tiap jam 6 pagi sudah di sawah untuk mencabut rumput yang tumbuh di sekitar padi.
Menurut Heri, kawasan yang akan dikembangkan menjadi Lintang Songo Edupark itu tidak ada sejengkal tanah yang menganggur. Di bagian pinggir sawah, ada banyak tanaman seperti singkong, cabe, pepaya, sirsak, jeruk, jambu, dan sebagainya.
“Padi dipanen untuk santri dan ustadz. Ustadz dan ustadzah di sini tidak dikasih uang, hanya dikasih beras dan sayur,” imbuh Rektor IIQ An-Nur itu.
Produk kebun dan persawahan di Lintang Songo Garden ini tidak dijual. Siapa saja boleh mengambil manfaatnya. Warga setempat dipersilakan memetik buah dan mengambil sayur-sayuran yang ada di sana. (Ilyasi)