Politik Uang Jadi Candu

Perwakilan partai politik, calon DPD dan perwakilan dari desa anti politik uang melakukan penandatanganan deklarasi menolak politik uang. (Foto: Wiradesa)

SLEMAN – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sleman, Arjuna Al Ichsan Siregar mengatakan politik uang merupakan candu yang bisa merusak sistem demokrasi di Indonesia.

“Proses demokrasi dengan politik uang rentan terhadap manipulasi dan kepentingan jangka pendek. Pesta demokrasi harusnya menjadi momen saat suara rakyat didengar, dihormati, dan diwakili dengan sebaik-baiknya. Sayangnya praktik politik uang sudah mencemari proses demokrasi dan menghancurkan kepercayaan rakyat, terhadap sistem yang seharusnya mewakili keinginan mereka,” kata Arjuna dalam Deklarasi Desa Anti Politik Uang Kabupaten Sleman dengan tema Meneguhkan Semangat Desa Anti Politik Uang dalam Pengawasan Pemilu Tahun 2024 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Sleman, Kamis (7/12/2023).

Menurut Arjuna, ketika politik uang merajalela,suara rakyat seringkali tereduksi dan menjadi alat bagi mereka yang punya kekayaan, bukan yang punya visi, misi, ide, dan wawasan yang baik untuk memimpin.

“Menolak politik uang adalah langkah awal dan penting untuk memastikan bahwa setiap suara memiliki nilai yang sama, pemimpin dipilih atas dasar visi dan kualifikasi, bukan kekayaan atau kepemilikan pribadi,” katanya.

Baca Juga:  Kasus Aktif Covid-19 di Kabupaten Purbalingga Diklaim Turun Selama PPKM

Tujuan besar ini bisa bermula dari langkah-langkah kecil setiap warga masyarakat. Perubahan besar dan dramatis memang terlihat indah dan berkilau. “Langkah kecil merupakan titik awal dari perjalanan yang akan bawa ke tujuan lebih besar, ketika seseorang memutuskan untuk melakukan perubahan kecil dalam hidupnya, itu sebenarnya awal dari kesadaran yang lebih besar,” kata Arjuna.

Ketua Bawaslu DIY, Mohammad Najib, mengatakan apabila politik uang merupakan ibu dari korupsi. Masyarakat perlu memutus rantai korupsi, salah satunya dengan menolak politik uang. Dia mengatakan, di Sleman, sudah ada lima desa anti politik uang (APU). Jumlah yang semakin hari semakin perlu ditingkatkan.

“Meskipun keberhasilan program bukan hanya sedikit banyaknya, tapi kualitas dari Desa APU tersebut. Di Sleman, Desa APU Sardonoharjo menjadi salah satu yang terbaik di DIY dan Nasional. Namun jangan cepat berpuas diri, perlu terus meningkatkan jumlah dan kualitas Desa APU ke depannya,” katanya.

Najib berpesan kepada partai politik untuk mengalihkan dana kampanye untuk kegiatan yang lebih bermanfaat dan positif. Partai politik juga menjadi sektor penting dalam proses demokrasi, dan perlu terlibat penuh dalam komitmen anti politik uang. “Politik uang terkait supply dan demand (penawaran dan permintaan). Partai politik perlu menghindari, sementara masyarakat perlu menolak politik uang,” kata Najib.

Baca Juga:  Meski Belum Diumumkan, Mada Sukmajati: Kans Ganjar Pranowo Kuat

Inisiator dan Penggerak Desa Anti Politik Uang, Wasingatu Zakiyah, mengatakan politik uang membuat pesta demokrasi bukan lagi penawaran gagasan dan ide, namun justru yang datang berupa sembako, tenda, uang, dan lainnya. Kebiasaan yang berlangsung lama membuat hal ini dianggap biasa dan normal.

Desa sebagai lingkup yang paling dekat dengan masyarakat perlu berbuat lebih untuk menghalau politik uang. Melalui gerakan akar rumputnya, Zakiyah mengajak seluruh elemen masyarakat desa, dari pemerintah desa, unsur agama, dan keluarga untuk memahami bahaya politik uang, ujaran kebencian, sampai berita bohong.

Dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie mengatakan, maraknya politik uang menjelang Pemilu tidak akan pernah bisa diselesaikan perkaranya. Menurut dia, meskipun terungkap bukti dan pelakunya karena ini bukan masalah hukum. Politik uang terkait dengan budaya dan desa memegang peran penting dalam upaya melawannya.

“Politik uang sama sekali bukan masalah hukum. Coba saja kita kumpulkan para profesor atau ahli tata hukum pidana, mesti tidak bisa menyelesaikan persoalan politik uang. Ini problem budaya hukum,” kata Gugun.

Baca Juga:  Tanggung Jawab SMSI dan Bisnis Media di Tahun Politik

Sementara dosen UGM Mada Sukmajati menyatakan desa merupakan tempat terbaik dan strategis melakukan transformasi atau perubahan sosial, salah satunya masalah politik uang. Dengan transformasi di desa diharapkan mendorong transformasi di atasnya. “Saya kira mengakhiri pola bitingan menjelang Pilkades akan berpengaruh besar pada Pemilu di atasnya,” jelasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *