SAMPAH masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Tantangan pengelolaan sampah di tanah air menjadi kian berat dengan semakin penuhnya kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di beberapa daerah.
Salah satunya yang terjadi di TPA Regional Piyungan, Bantul yang kondisinya sudah melebihi kapasitas daya tampungnya. Pemerintah Provinisi DIY pun mengeluarkan kebijakan penutupan TPA Piyungan pada 5 Maret 2024. Kedepan, setiap kabupaten/kota diminta untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri.
Peneliti Ekonomi Sirkular UGM, Suci Lestari Yuana, S.IP., MIA., memandang perlunya solusi terpadu dengan melibatkan berbagi pihak untuk mengurai persoalan sampah di tanah air, termasuk Yogyakarta. Masyarakat dalam hal ini memiliki peran penting dalam proses pengelolaan sampah. Karenanya ia dan tim di FISIPOL UGM berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sektor pendidikan dengan memberikan edukasi dan literasi terkait pengelolaan sampah yakni dengan menginisiasi sekolah ekonomi sirkular.
“Implementasi ekonomi sirkular penting dilakukan di level praktik sehari-hari dalam merespons tantangan ini, di mana limbah dianggap sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan kembali dan bisa menjadi sumber penghasilan,” tutur Dosen HI FISIPOL sekaligus peneliti di Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM ini, Kamis (7/3).
Ia menjelaskan dalam riset ini yang dilakukan bersama tim, mereka mengamati bagaimana 68 sekolah di Indonesia yang tergabung dalam sekolah ekonomi sirkular dalam menerapkan prinsip 5R (Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Recycle) di lingkungan sekolah. Sekolah ekonomi Sirkular diinisiasi sejak tahun 2021 silam dengan melibatkan sebanyak 68 sekolah yang tersebar di Sumatera Utara, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Utara.
Dalam konteks praktik-praktik 5R, lanjutnya, peran sekolah dan institusi pendidikan menjadi kunci sebagai agen perubahan. Sebab, implementasi praktik-praktik 5R di lingkungan pendidikan tidak hanya memengaruhi pola pikir siswa, tetapi juga membentuk generasi yang tanggap terhadap tanggung jawab lingkungan.
Menurutnya, sekolah memiliki potensi besar untuk membentuk perilaku berkelanjutan dengan mengintegrasikan konsep 5R dalam kurikulum dan kegiatan sekolah sehari-hari. Selain itu, sekolah dapat menjadi pusat penyuluhan bagi siswa dan masyarakat sekitar tentang pentingnya pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang sampah.
Lebih lanjut Suci menyampaikan bahwa pemerintah memiliki peran krusial dalam upaya mendukung implementasi praktik-praktik 5R di sekolah dan institusi pendidikan. Pemerintah dalam hal ini berperan untuk memotivasi dan mendorong transformasi sirkular.
Saat ini, lanjutnya, inisiatif seperti Indonesia Green Principal Awards (IGPA) telah memainkan peran penting dalam mendorong sekolah untuk mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan. Namun, terdapat tantangan dengan sedikitnya partisipasi sekolah di Yogyakarta. Karenanya kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan dengan merancang kebijakan yang memberikan insentif kepada sekolah yang aktif dalam melakukan transformasi sirkular. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan alokasi dana khusus, penghargaan, atau dukungan teknis bagi sekolah yang berhasil mengimplementasikan praktik-praktik 5R secara efektif.
“Kebijakan ini dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sekolah di Yogyakarta untuk terlibat lebih aktif dalam perubahan menuju praktik berkelanjutan,” pungkasnya. (*)