Kolom  

Ziarah

Hendry Ch Bangun (kedua dari kanan) saat mengunjungi Museum Perjuangan Pers Medan yang didirikan TW Muhammad (duduk di kursi roda). (Foto: Dok Hendry Ch Bangun)

Catatan Hendry Ch Bangun

Tidak sering saya berziarah ke Batukarang, tempat ayah dimakamkan. Juga tempat kakek dan nenek, ayah dan ibu dari ayah. Maka begitu ada urusan ke Medan, saya hampir selalu memanfaatkannya untuk pulang.

Batukarang adalah desa di Kecamatan Payung di kaki Gunung Sinabung. Udaranya dingin. Segar. Tiupan angin selalu ada.

Ketika dulu nenek masih hidup saya pernah datang dan menginap di rumah besar, rumah adat yang terdiri dari beberapa kamar yang diisi beberapa rumah tangga. Untuk naik kita harus melalui tangga. Terasnya disebut pare-pare. Saya ingat nenek dulu kalau masak ya di dapur bersama keluarga lain rumah besar itu. Puluhan tahun lalu. Saya tidur di kamar yang hanya satu, dengan jendela kecilnya.

Batukarang punya tempat mandi bersama, disebut Pancur Siwah, pancuran dengan air yang langsung dari gunung, ditampung dan dialirkan untuk kegiatan mandi umum. Tempat mandi ini diatur sesuai dengan kedudukan sosial di kampung.

Saya lupa kapan terakhir mandi di sana, lama sekali. Kalau mampir di sana saat ke Batukarang paling saya sekedar cuci muka. Cukup lah untuk membasuh rindu.

*

Kuburan ayah terletak di kebun warisan dari kakek yang dulu dikatakan salah satu ahli adat dan menjadi narasumber di acara kampung. Dulu di bagian bawah tanah ini ada penggilingan padi satu-satunya di kampung.

Ayah dikubur di sini sesuai kata-kata yang dia sampaikan saat kami berbincang. Katanya, saat kecil di situlah dia bermain-main dengan rekan sebaya. Tempat ideal karena tanahnya cukup luas, kurang lebih 4.000 meter persegi.

Tanah dan penggilingan padi itu bersisian dengan Simpang Tiga, yang dengan warung kopinya menjadi tempat nongkrong bapak-bapak sehabis berladang. Di sini pula angkutan ke Kabanjahe, ibukota kabupaten Karo, menurunkan dan menunggu penumpang. Menjadi semacam pusat desa. Semacam meeting point juga, tempat perpisahan yang datang dan pergi.

Bayangkan saja lagu Eddy Silitonga Di Ambang Sore. Itulah persepsi saya tentang wilayah ini, meski Batukarang punya tempat menarik lain untuk dikenang.

Di nisan ayah tertulis Pelopor Wartawan Orang Karo. Dalam biografinya disebutkan bahwa Ayah menjadi wartawan Harian Waspada Medan pada tahun 1953, sebagai koresponden ditempatkan di luar Medan.

Waktu itu ayah hanya lulusan setara SLTA dan merantau ke Medan. Sejak itu dia terus menjadi wartawan dan menulis sampai wafatnya di tahun 2006. Ada belasan buku yang dia tulis dan belakangan spesialis biografi. Di antaranya tokoh nasional TD Pardede, Simpang Ginting, pendiri Waspada Mohamad Said dan Ani Idrus dan banyak tokoh Karo lainnya.

Sambil bekerja itulah ayah meneruskan sekolahnya, meraih gelar BA di Medan dan mendapat gelar sarjana Publisistik di Universitas Prof Dr Moestopo di Jakarta saat saya sudah duduk di SMA.

Dia pun sempat menjadi pengurus PWI Medan, menjadi salah satu wakil ketua dari unsur Nasional ketika Presiden Soekarno mewajibkan organisasi untuk menaruh tiga unsur  sebagai bentuk keseimbangan yakni Nasionalis, Agama, Komunis atau yang dikenal dengan Nasakom. Waktu itu dia memimpin Suluh Marhaen edisi Sumut.

Baca Juga:  Kesunahan dalam Salat Idul Fitri

Karena kondisi yang tidak kondusif akhirnya ayah ditarik ke Jakarta dan bekerja di Suluh Indonesia, organ resmi Partai Nasional Indonesia. Di partai ayah menjadi staf di Deppenprop, Departemen Penerangan dan Propaganda PNI. Dia menulis untuk koran partai karena memang pada era itu, setiap partai punya koran. Bahkan pernah ada masa, koran hanya boleh terbit kalau dia mewakili partai atau organisasi massa.

Sambil menaruh bunga yang saya beli di Berastagi, saya berdialog dengan sejarah dan kenangan tentang ayah sebagai wartawan. Dia berkali-kali mengajak anaknya ke kantor, ikut mendampingi kalau meliput keramaian, bahkan mengajak saya ikut ke rumah Osa Maliki, Mh Isnaeni, Hardjanto.

Mendidik karena saya meskipun lebih banyak diam berkenalan orang terkenal pada masanya. Saya termenung. Kalau dulu itu saya anggap “siksaan” sekarang baru sadar betapa besar jasanya mendidik saya dengan caranya.

Terimakasih ayah, dan saya mendoakan tempat terbaik baginya kelak dan dilapangkan, diterangi kuburnya. Lalu usap-usap nisannya. Tidak ada kata terucap, kecuali doa kepada Sang Pencipta.

Nisan makam Tridah Bangun, ayahanda Hendry Ch Bangun. (Foto: Hendry Ch Bangun)

Dari sini saya bersama istri bergerak ke kuburan Kakek, Malem Bangun, yang terletak di kuburan kampung dekat lapangan bola. Kakek meninggal tahun 1946, ketika ayah masih sekolah di Sekolah Rakyat. Jadi saya tidak pernah mengenalnya.

Di makam itu pula dikuburkan nenek Nande Pinoh beru Tarigan yang wafat tahun 1977. Ketika saya masuk kuliah di FSUI. Satu makam. Istri Kakek yang lain, yang pertama, Beru Ginting, dikubur terpisah.

Kata ayah, Kakek menikah lagi karena dari istri pertama tidak ada anak laki-laki, hanya tiga anak perempuan.

Dari Nenek Tigan pun akhirnya ada satu anak lelaki, ayah saya, tiga lainnya juga perempuan. Maka ayah adalah anak kesayangan Kakek dan ketika kecil selalu diajak ketika Kakek menghadiri acara-acara adat.

Menurut cerita, saat ayah dilahirkan, Kakek sedang berada di Berastagi, pada 30 Agustus 1934. Waktu itu Kakek dan teman-teman pergi ke kota itu sebab ada rencana launching lapangan udara Berastagi, yang bertepatan dengan Hari Lahir Ratu Wilhelmina. Ada keramaian, pasar malam, dan lomba-lomba Agustusan yang rutin diadakan sebagai bentuk penghormatan untuk Ratu Belanda. Jadi Agustusan sudah mulai di era kolonial, bukan karena menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Tanggal 30 Agustus 1934 itulah ditetapkan sebagai hari lahir ayah. Tetapi ketika saya mencari tahu lebih dalam dengan membaca koran terbitan Medan, ternyata tanggal kelahiran ayah beda. Menurut berita di Pewarta Deli, Sin Po, peluncuran lapangan udara itu–yang dimaksudkan agar turis asing dari Singapura bisa langsung terbang ke Berastagi untuk wisata– ditunda menjadi 4 September karena masalah teknis.

Ketika waktu itu saya bilang tanggal lahirnya harus disesuaikan, ayah ketawa saja. Biar saja. Apalagi akan repot karena mengubah semua dokumen.

Baca Juga:  Walid Regragui Sang Masterclass Singa Atlas Maroko

Setelah berdoa dan menaruh bunga di kuburan Kubu-kubu, begitu disebut, saya bergerak ke Tiganderket. Kampung saya sebenarnya hanya dipisahkan sungai tetapi karena memang tidak ada jembatan, harus didatangi melalui Payung.

Tiganderket inilah ibukota Kecamatan Payung. Ada pasar yang besar, ada kantor Kecamatan, ada Polsek, kantor pos, bank, dan segala lembaga pemerintah daerah. Tiganderket inilah yang menjadi tempat setting film Karo, Jandi Lasurong, yang novelnya ditulis sepupu ibu saya MH Tempel Tarigan.

Seperti Simpang Tiga di Batukarang, di tempat inilah dulu angkutan ke Kabanjahe ngetem menunggu penumpang, tempat perpisahan atau pertemuan.

Rumah Kakek Nenek di desa lain yakni Tanjung Merawa, bukan Morawa. Merawa artinya marah, saya tidak tahu asal usul penamaan desa ini.

Saya sempat sekolah di sini, untuk menemani Nenek yang hidup sendirian karena dua anak perempuannya yang menikah tinggal di Medan. Hampir dua tahun, kelas tiga dan empat, saya menemani nenek, dan kembali ke Medan ketika adik perempuan saya Marhaenita, wafat dalam usia 1 tahun pada tahun 1967. Kesedihan Ibu ditinggal anak perempuan satu-satunya membuat saya harus menjadi penghibur hatinya.

Di rumah panggung di Tanjung Merawa kadang saya tidur sendiri kalau Nenek membawa dagangan yakni hasil bumi seperti kol, tomat, bawang ke Medan. Waktu itu berangkat agak sore, truk baru akan sampai pada pagi hari dan Nenek baru tiba di rumah sore keesokan harinya.

Meski masih berusia 9-10 tahun saya tidak takut tidur sendiri di rumah yang terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, dan dapur besar itu. Nenek pemberani juga. Kalau ada acara Memanggil Arwah di rumah seorang Guru–orang pintar –pusat desa Tanjung Merawa, pulang tengah malam, nenek menggendong saya dan menerangi jalan bermodalkan obor bambu. Kadang sambil bercerita apa saja agar ada bunyi dan tidak dicengkeram keheningan menakutkan.

Nenek banyak uang, dialah yang membeli tanah untuk rumah Ayah dan Ibu di Gang Sahabat, Padang Bulan, setelah sebelumnya tinggal di Kampung Anggrong dekat Jalan Mongonsidi.

Rumah panggungnya juga bagus, dari kayu, berdiri di tanah kira-kira seluas 15 x 25 meter.

Nenek juga punya kebun dan sawah yang digarap orang lain.

Dia juga berpikiran maju, menyekolahkan Ibu saya ke Medan, sekolah perempuan, agar memiliki wawasan dan pengetahuan. Begitu pun adik ibu saya kemudian.

Karena tidak punya anak laki-laki, Nenek yang bermarga Singarimbun ini  diduakan oleh Kakek. Istri Kakek ini tinggal di desa Perbesi, saya pernah diajak juga ke sana. Di salah satu sawahnya itulah Kakek dan Nenek dikubur, juga nenek kedua meski letaknya agak berjauhan.

Kuburannya benar-benar indah, di antara tanaman tomat, dan bawang dengan latar belakang Gunung Sinabung yang berkabut.

Baca Juga:  Wartawan dan Moralitas

Karena sejak berangkat dari Kualanamu jalan di beberapa titik tersendat karena pelebaran jalan, sekitar pukul 16.00 kembali ke Medan. Menuju Payung, lalu Simpang Empat kami tidak lagi melalui jalan Kiras Bangun–pahlawan Nasional asal Karo–tapi memutar melewati Berastepu.

Desa ini berbatasan langsung dengan Gunung Sinabung, sehingga bekas-bekas letusan tahun 2013 serta runtutannya masih terlihat. Rumah-rumah yang hancur, ada pula sekolah dan gereja, teronggok begitu saja, tidak lagi digunakan. Memang banyak yang trauma karena tidak sedikit korban jiwa waktu itu, dan juga letusan berulang sampai tahun 2016, banyak yang rela harta bendanya ditinggal dan bermukim ke tempat lain.

Pemandangan yang ironis, karena di kiri-kanan jalan, terlihat aneka tanaman yang subur. Ada buah naga, kopi, sayuran, tumbuh bagus karena menampung material letusan. Kematian dan kehidupan terlihat sekaligus.

Saya tidak lagi mampir di Wajik Peceren, titik rehat dari Medan tadi, tempat isi perut juga, ada lontong bersayur, nasi lemak, dan tentunya wajik dan kue khas yang lezat. Kalau dulu ke kampung bersama Ibu dan adik keponakan, kami pasti mampir, dan membeli paket untuk dinikmati di jalan. Kalau saya ziarah, tidak lupa saya membawa ke Jakarta wajik kesukaan Ibu ini. Dia pesan ataupun tidak.

Jalan relatif lancar meskipun di sana-sini ada pelebaran jalan. Dibandingkan 4-5 tahun lalu jalan Medan-Berastagi menurut saya semakin baik. Wajar karena tempat wisata terkenal, sejak zaman Belanda dulu sampai dibuatkan lapangan udara, dan tiap akhir pekan ribuan turis datang menikmati udara sejuknya.

Jalanan antarkota ini mirip dengan jalan dari Makassar ke Bone, kampung istri saya, khususnya di wilayah Camba. Jadi seperti pulang ke dua kampung. Istri saya pun familiar dan nyaman berkendara meski kelokannya bisa bikin mual kalau lalu lintas lancar.

Sekitar 19.45 saya mampir ke Museum Perjuangan Pers, rumah wartawan senior TW Muhammad. Saya sudah janji dengan Bang Ronny Simon, yang aktif membantu kelangsungan tempat yang menampilkan sejarah pers di Sumatera Utara, dari banyak aspek. Walaupun hanya sebuah rumah yang luasnya mungkin sekitar 12-20 meter, museum ini memiliki nilai luar biasa besar.

Saya meninjau sebentar dan juga menyerahkan buku biografi ayah saya, untuk menjadi koleksi museum. Saya berjanji apabila kondisi memungkinkan, PWI Pusat akan membantu museum.

Saya terharu melihat daya juang Pak Muhammad yang dulu bekerja di Harian Mimbar Umum ini. Usianya kini 92 tahun. Tidak begitu beda dengan ayah saya yang kalau masih hidup akan berusia 90 tahun.

Di tengah kesemrawutan lalu lintas kota Medan, saya menikmati kota ini, kota kelahiran, tempat saya dulu sekolah walaupun hanya sebentar kelas 1-3 di SD 53 Padang Bulan.

Makanannya enak, orang-orang yang saya temui menyenangkan, banyak yang membuat saya selalu ingin kembali ke Medan. (*)

Bukit Lawang, Langkat, 2 Juni 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *