PARIWISATA berkelanjutan, satu konsep wisata yang berusaha memuliakan pariwisata itu sendiri. Dengan tidak mengeksploitasi sumberdaya alam dan ramah lingkungan. Eksploitasi sumberdaya alam di sektor wisata banyak terjadi. Juga banyak terjadi praktik yang kurang ramah terhadap masyarakat lokal.
Peneliti desa wisata sekaligus dosen Magister Pariwisata Berkelanjutan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Dr Kasno Pamungkas SS MHum mengatakan, akibat dari eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya alam dan masyarakat lokal yang terabaikan salah satunya yakni terjadinya sebuah ironi. Ketika banyak destinasi pariwisata dibangun di suatu kawasan dan sanggup mendatangkan wisatawan tetapi realitas kemiskinan turut terjadi di sekelilingnya.
“Sebuah ironi ketika pariwisata yang seharusnya menyejahterakan, memberi lapangan kerja, tapi justru angka kemiskinan di lingkungan destinasi malah naik. Ini banyak terjadi sebelum pandemi,” terang Kasno kepada wiradesa.co, Kamis 8 Februari 2024.
Eksploitasi sumber daya alam berlebihan di sekitar destinasi dapat terjadi ketika pola pengembangan destinasi yang dilakukan bersifat top down atau adanya campur tangan pemilik modal. Pembangunan destinasi tak mempedulikan Amdal, merusak lingkungan sekitar.
Yang baik menurut, Kasno, pertimbangan yang harus dilakukan dalam membangun kawasan wisata yaitu tetap memperhatikan kearifan lokal, tidak menabrak tata lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat. Berpihak pada pengembangan ekonomi masyarakat setempat.
“Di Yogya ada salah satu praktik pengembangan destinasi yang unik yakni di Nglanggeran. Bagaimana dulu kawasan Nglanggeran yang tandus. Adoh ratu cedak watu, banyak anak muda pindah ke kota, kemudian mengembangkan wisata berbasis konservasi lingkungan,” jelasnya.
Kasno melihat praktik yang dilakukan ratusan pemuda Nglanggeran dipelopori anak muda seperti Sugeng Handoko, Heru Purwanto dan lainnya dalam mengembangkan potensi wisata mereka memulainya dengan menata lingkungan, menanam pohon.
Mengembangkan desa wisata, masyarakat bisa diawali dengan melakukan identifikasi potensi desa. Apa saja yang menjadi daya tarik. Karena masing-masing desa punya kekhasan. Dan jangan menjadikan keterbatasan sebagai hambatan. Mulailah dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat secara konsisten.
Masyarakat harus mencermati langkah yang ditempuh kemudian apakah mengembangkan desa wisata atau sekadar pengembangan destinasi.
“Pengembangan destinasi cirinya adanya alur pengembangan yang bersifat top down sedangkan pada desa wisata kebalikannya bottom up. Potensi eksploitasi terjadi tatkala yang dikembangkan adalah destinasi oleh investor. Mereka berusaha agar cepat balik modal sehingga potensi eksploitasi sumberdaya menjadi besar,” tuturnya.
Kasno menegaskan kata kunci pengembangan desa wisata yaitu adanya pemberdayaan masyarakat bukan di daya tarik wisatanya. Pemberdayaan masyarakat pada desa wisata menjadi suatu kewajiban. Tanpa adanya pemberdayaan masyarakat berarti pengembangan yang dilakukan tak bisa disebut desa wisata.
“Saat ini banyak kelatahan. Begitu pemerintah meluncurkan program dana desa lewat Kemendes, didukung Kemendagri dan Kemenparekraf dikuatkan kemenkomarves untuk mendorong desa wisata, terjadi kelatahan di mana desa justru membangun destinasi saja,” ungkapnya.
Banyak pendamping desa gagal paham ketika ada arahan dari kemendes yang terjadi justru pembangunan destinasi lalu diklaim sebagai desa wisata. Banyak yang akhirnya berguguran. (Sukron)