ATURAN hukum mengenai kampanye online di media sosial belum diatur secara keseluruhan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Regulasi yang belum memadai terhadap kampanye online, jadi salah satu faktor yang mengakibatkan misinformasi saat pelaksanaan kampanye di media sosial gampang terjadi.
“Idealnya, kampanye di media sosial harus dilakukan menggunakan akun resmi yang didaftarkan ke KPU dan jumlahnya sudah ditentukan baik di tingkat pusat, di tingkat propinsi maupun di kabupaten kota,” ujar pakar hukum Pemilihan Umum (Pemilu) Khairil Fahmi dalam diskusi bertajuk “Strategi Perempuan Menyikapi Misinformasi Dalam Pemilu” yang diselenggarakan Institute of Sustainability and Resilient Acknowledgement (ISRA Institute).
Pada diskusi yang dilaksanakan via daring Zoom Meet belum lama ini, Khairil menjelaskan, seharusnya sejak awal pelaksanaan kampanye menjelang Pemilu, KPU dapat mengatur secara tegas siapa saja akun dalam media sosial yang dapat melakukan kampanye. Sehingga akun yang tidak sah serta di luar ketentuan KPU tidak dapat melakukan kampanye untuk meminimalkan terjadinya misinformasi.
Permasalahan misinformasi saat kampanye berlangsung di media sosial lebih banyak ditemukan berasal dari akun-akun nonresmi. Sebab ketika masa kampanye berlangsung, tak sedikit yang menggunakan akun robot atau bot. “Dari akun robot tersebutlah orang menggunakan informasi untuk menyebarkan informasi yang tidak benar,” tuturnya.
Kondisi literasi digital masyarakat Indonesia yang rendah membuat misinformasi lebih mudah menyebar di media sosial. Masyarakat yang minim pengetahuan digital jarang menyaring informasi yang beredar sebelum membagikannya.
Temuan riset ISRA Institute di platform media sosial X pada Pemilu 2019 lalu memperlihatkan terdapat 1.288 cuitan dan 15.013 yang merujuk pada misinformasi serta penyerangan ketika perempuan terjun dalam dunia politik dan Pemilu. Misinformasi dan penyerangan terhadap perempuan pada media sosial merujuk pada agama, ideologi, dan fisik yang sifatnya personal.
Hal ini pun dibenarkan calon legislatif DPRD DIY Bray Iriani Pramesti. Pada diskusi tersebut dikatakan Iriani bahwa hambatan yang dialami ketika terjun ke dunia politik dan melakukan kampanye melalui media sosial yakni penyebaran hoaks yang merupakan bagian dari misinformasi. Perempuan pun akan mendapatkan lebih banyak serangan fisik yang bersifat personal ketimbang kritik atas kinerjanya.
“Pada media sosial biasanya akan diserang fisik atau pribadi, bukan bagaimana kinerjanya, bukan bagaimana dia bermanfaat bagi masyarakat dan lain sebagainya. Perempuan dalam media sosial akan dibicarakan atau dibully fisik dan perilaku ketika terjun dalam dunia politik,” ujar Iriani.
Iriani berharap agar peran dan kapasitas perempuan di ranah kebijakan publik dapat meningkat ketika terjun dalam dunia politik. Sehingga perempuan bisa lebih bermanfaat dan di ranah politik, bisa ikut memajukan negara.
Diskusi menghadirkan sejumlah pembicara yang sudah berpengalaman di bidangnya diantaranya Khairul Fahmi, Dosen Hukum tata negara, Universitas Andalas; Fajar Rosalina, Dosen ilmu Komunikasi Institute Bisnis Nusantara (IBN); BRAy Irani P caleg DPRD DIY; dan Shinta Ressmy Cakra Ningrat peneliti SAFEnet. (Asy Syifa Salsabila)