TEMPURAN Sungai Progo dan Sungai Pabelan di wilayah Kalurahan Sokorini, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, terlihat indah tetapi memancarkan aura yang menyeramkan. Maklum, biasanya tempuran sungai seperti ini dimanfaatkan oleh penganut aliran kepercayaan di Jawa untuk kungkum, tetirah atau laku batin.
Saat pikiran melayang, membayangkan ilmu kanuragan, terlihat penampakan yang mengejutkan di Tempuran Progo – Pabelan, Minggu 17 November 2024. Ada sepasang perempuan dan laki-laki yang menyeberang atau melintasi sungai yang berarus deras tersebut. Tampak ketinggian airnya sampai di perut mereka.
Perempuannya berada di depan dengan menggendong bagor dan laki-lakinya di belakang membawa pepaya. Sepertinya mereka baru saja memanen hasil bumi di lahan yang ada di tengah tempuran sungai. Karena di lahan tanah yang dikelilingi aliran sungai itu terdapat berbagai tanaman pangan.
Siang itu, awan mendung mulai menampakkan diri. Arah hulu Sungai Progo dan Sungai Pabelan terlihat pekat. Itu menandakan hujan sudah mulai turun di hulu sungai. Sehingga kemungkinan banjir terjadi. Namun dua orang petani di lahan tidak bertuan itu, tidak memperdulikan banjir akan datang.
Bagi petani, khususnya dua orang yang melintasi arus sungai tersebut, kebutuhan makan keluarga, harus diupayakan, meski resikonya sangat besar. Bayangkan jika banjir bandang datang, pasti menyeret kedua orang tersebut ke tengah arus derasnya Kali Progo.
Dengan keberanian dan ketenangannya, sepasang petani itu sampai di pinggir Sungai Pabelan di Kulon Ndeso Sukorini. Ternyata kedua orang itu sepasang suami istri, namnya Maryoto dan Witanti, warga Sokorini, Muntilan, Magelang. Merena menanam berbagai jenis tanaman pangan di lahan tengah sungai.
Saat ingin pulang melintasi sungai yang berarus deras, Maryoto membawa pepaya, sedangkan Ny. Witanti menggendong bagor, berisi pisang, pepaya, dan umbi jalar. Hasil panennya, kata mereka untuk dimakan sendiri, tidak dijual. Namun jika ada yang membeli, dipersilahkan. Bahkan jika ada warga yang pengin, dipersilahkan mengambilnya, tanpa bayar.
Wartawan Wiradesa.co menanyakan berapa harga pepayanya. Ny. Witanti menjawabnya terserah bapak mau membeli berapa. Ketika diminta lagi menyebutkan harga pepayanya, ibu ini tetap tidak mau menyebutkan harganya. Lalu Wiradesa memberikan uang Rp 30.000 yang ada di kantongnya.
Mengetahui disodori uang Rp 30.000, Ibu yang masih basah kuyup itu lalu menambahkan lagi sebuah pepaya, selirang pisang, dan beberapa umbi jalar. Tapi wartawan hanya mengambil dua pepaya yang ukurannya cukup besar. Ternyata harga jual hasil bumi petani, tidak sebanding dengan resiko yang dipikulnya. Meski demikian, petani tetap sabar dan hidup dalam kesederhanaan. (Ono)