Ki Ageng Giring merupakan tokoh panutan masyarakat Jawa, khususnya wilayah Mataraman, dan memiliki sejarah penting berdirinya Kerajaan Mataram di Yogyakarta. Meski beliau bukan Raja, tetapi ketiga pusakanya menjadi landasan berdirinya Kraton Mataram.
Ketiga pusaka yang sampai sekarang disimpan di Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, berupa satu tombak dan dua songsong (payung). Namanya Tombak Udan Arum, Songsong Sangga Buana, dan Songsong Tunggu Naga.
Ketiga pusaka tersebut memiliki makna yang berbeda dan jika disatukan merupakan landasan kepemimpinan atau model kepemimpinan yang sampai sekarang masih relevan. Tombak Udan Arum menyiratkan aura menyinari masyarakat. Sedangkan Songsong Sangga Buana mengayomi masyarakat, dan Songsong Tunggu Naga mengayemi masyarakat.
“Jadi sifat seorang pemimpin yang disiratkan pada pusaka Ki Ageng Giring itu menyinari, mengayomi, dan mengayemi masyarakat,” ujar Sunarto, Jumat 31 Maret 2023. Sunarto merupakan tokoh masyarakat yang diamanahi menjaga pusaka Ki Ageng Giring.
Sunarto, menantu mantan Lurah Giring, menjelaskan pada tahun 1987 banyak masyarakat dari Solo, Kebumen, Klaten, dan Yogyakarta yang kepengen ngemet asep, mendapatkan pelajaran hidup, dari tiga pusaka Ki Ageng Giring. Kemudian Pak Lurah, waktu itu memanggilnya untuk menemui para tamu dari berbagai daerah tersebut.
“Gurune tindako mrene. Iki ngene ono tamu pirang-pirang, tak wawas, sampeyan sing iso nggulo wentah pusaka Ki Ageng Giring (Gurune datanglah ke sini. Ini begini ada tamu banyak banget, saya percaya, kamu yang bisa merawat pusaka Ki Ageng Giring),” pinta Pak Lurah yang ditirukan Sunarto.
Pak Lurah Giring dulu kalau memanggil Sunarto, menantunya itu “Gurune”. Sebenarnya keluarga besar Pak Lurah itu ada 24 orang. Namun sesepuh tersebut mempercayai anak menantunya untuk nggulo wentah, menjaga dan merawat ketiga pusaka Ki Ageng Giring.
Sampai sekarang Sunarto selalu ingat pesan orangtuanya, “Sak wancine, sikil iso ngadek, opo maneh iso diangkat, ojo ninggalake pusoko Kyai Ageng Giring (Sewaktu, kaki bisa berdiri, apa lagi bisa diangkat, jangan meninggalkan pusaka Kyai Ageng Giring)”.
Keberadaan pusaka Ki Ageng Giring itu merupakan kekayaan budaya. Ada nilai kearifan lokal yang dikandungnya. Nilai kepemimpinan, seperti menyinari, mengayomi, dan mengayemi itu sampai sekarang masih relevan.
Apa arti menyinari, mengayomi, dan menyinari, bagi masyarakat, serta sejarah Ki Ageng Giring dan saudaranya Ki Ageng Pemanahan, akan ditayangkan melalui kanal Wiradesa.co berikutnya. Silahkan diikuti. (*)