KOTA YOGYA – Kreasi ecoprint, mewarnai lembaran kain dengan aneka motif dedaunan dengan pewarna alam ditekuni Hj Wahyuni (61) beberapa tahun belakangan. Menurutnya, mewarnai lembaran kain dengan teknik ecoprint terbilang rumit. Bahkan ia butuh waktu 5-6 bulan mempelajari hingga menguasai teknis pembuatan kain ecoprint.
“Banyak gagal pada mulanya karena memang tidak mudah. Bahkan hingga sekarang masih terus belajar. Dulu mengenal ecoprint dari kursus di kelas pembelajaran pembuatan ecoprint yang diselenggarakan Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada-red). Begitu lancar, praktik, produk kain ecoprint diminati dan dibeli orang jadi makin yakin dan merasa diapresiasi,” terang Wahyuni kepada wiradesa.co di kediamannya di Kalangan UH 5/716 W, Jalan Veteran Gang Bekisar, Depan Masjid SMP IT Abubakar Yogya, Minggu 23 Januari 2022.
Ketertarikan Wahyuni pada ecoprint tak lepas dari sejarah keluarga yang berkecimpung pada produksi batik Yogya. Ia merasa tak sanggup bila harus meneruskan tradisi membatik itu. “Meneruskan apa yang pernah ditekuni keluarga, agak berat. Terbatas sumber daya. Karena itu kemudian saya tertarik pada ecoprint. Sama-sama memberi motif pada kain tapi memakai media lain. Pakai pewarna bersumber dari kandungan warna berbagai dedaunan. Lebih dari itu, kreasi ecoprint bisa sebagai alternatif pengisi waktu setelah pensiun dari pekerjaan,” tutur Wahyuni, pensiunan Dinas Pertanian Provinsi DIY ini.
Ecoprint, ulas Wahyuni, merupakan proses memberi motif pada kain dengan mencetak (print) unsur-unsur tanaman. Selain dedaunan bisa dari bunga, juga kulit kayu.
“Kain yang dipakai untuk ecoprint itu berasal dari gugus tanaman dan gugus hewan. Dari gugus tanaman seperti kain yang berasal dari kapas atau serat alam lain, rami, goni. Jenis-jenis kain yang dapat dipakai untuk ecoprint; primisima, blaco, kanvas, linen, bemberg. Kain dari bahan poliester kurang bisa masuk bila diproses jadi ecoprint,” jelas Wahyuni sambil menambahkan bahan kain dari gugus hewan yaitu sutra dan kain wool.

Bagi para kreator ecoprint, jenis-jenis kain primisima, rayon, prima, silk, kain tenun ATBM, blaco, sanforis, drill kerapkali dipilih sebagai media menuangkan aneka motif. Sedangkan bahan pewarna yang biasa dipakai dari bahan alami bersumber dari rebusan kayu tingi dengan konsentrasi tertentu menghasilkan warna coklat sogan. Rebusan kayu tegeran menghasilkan warna kuning, rebusan kayu secang mengeluarkan warna merah. Selain dari kayu-kayuan, zat pewarna dapat diperolah dari rebusan daun-daunan seperti daun mangga, daun jenitri, daun ketapang mengeluarkan warna hijau dan abu-abu menuju hitam dengan perlakuan tertentu. Masih tentang warna alami, kulit manggis menghasilkan warna kecoklatan. Dedaunan lain masih banyak yang bisa menghasilkan warna-warna alami nan memikat.
“Dedaunan yang bisa tercetak jelas yakni dedaunan dengan kandungan tanin kuat hingga sedang. Ada banyak jenis daun yang bisa menjadi pilihan sesuai karakter daun,” ungkapnya. Lalu Wahyuni menyebut satu persatu jenis dedaunan yang beberapa diantaranya sengaja ia tanam di halaman samping rumah depan ruang produksi sekaligus sebagai lokasi pelatihan ecoprint. Daun dengan kandungan tanin sangat kuat meliputi daun lanang, daun jati, truja, jenitri, bixa, eucaliptus, suren, kulit bawang bombay. Sementara golongan daun bertanin kuat yakni daun ketapang, anggur laut, jarak kepyar, daun kenikir dan bunga, kalpataru, daun talok, daun dondong, daun jambu, daun murbei, daun waru dan bunga, daun insulin dan bunga, bunga krisan, daun dondong, daun ketela, daun kelengkeng.
“Mengenai bahan pewarna alami, tergantung pada pesanan. Bila pesanan kain ecoprint buru-buru, mintanya selesai dalam waktu dekat maka pewarna beli. Tapi bila pesanan santai tak buru-buru maka pewarna alami mengolah sendiri sambil buat stok,” kata nenek dari empat orang cucu ini.
Proses pembuatan kain ecoprint
Setelah bahan kain dan pewarna serta dedaunan yang memenuhi persyaratan dalam pembuatan ecoprint disiapkan, proses berikutnya tahap eksekusi. Pada tahap ini, disampaikan Wahyuni, dibutuhkan beberapa alat bantu berupa ember, lembaran plastik, tali pengikat, pipa penggilas, alat ukur, timbangan, alat pengukus.
Pengerjaan ecoprint dimulai dari mencuci kain utama dan kain blanket yang baru datang dari toko. Sebelum masuk proses pewarnaan, kain yang dipilih harus melalui proses pencucian (scouring) agar material pati yang melekat pada kain juga debu kotoran dari gudang yang melekat luruh terbuang. Pencucian dilakukan secara manual, direndam dengan air bersih ditambah TRO (bahan baku detergen). Usai perendaman dan pencucian sekitar dua jam, kotoran sudah luruh lalu dibilas dan dikeringkan.
Selesai dicuci bersih dan dikeringkan, pada kain utama dilakukan proses yang disebut mordanting. Mordanting adalah proses pemberian unsur-unsur logam bersifat asam atau basa sesuai kebutuhan guna membuka pori-pori kain dan merupakan zat pembangkit warna dari aneka daun. “Lewat proses mordanting kain akan mudah menerima transfer warna dari dedaunan,” tutur Wahyuni.
Kecerahan warna kain ecoprint ditentukan pada saat proses mordanting dengan unsur tunjung (iron), tawas, soda ash. Proses mordanting sendiri akan berbeda tergantung teknik ecoprint yang akan dipakai seperti tridi (3D), shadow, shadow night, mirror. Eksekusi selanjutnya, setelah di-mordanting, lembaran kain utama digelar pada meja atau lantai, daun-daun ditata sesuai kreasi. Pada proses ini kemampuan niteni sangat dibutuhkan.

Niteni daun-daun akan menghasilkan warna apa saja. Kain blanket yang telah dicelup warna ditutupkan pada kain utama yang telah dibubuhi penataan daun. Warna akan tertransfer pada kain utama. Di atas kain blanket masih ditambah lembaran lapisan plastik. Ratakan dengan pipa penggilas lalu gulung lapisan kain utama, kain blanket dan lapisan lembaran plastik. Ikat dan rebus selama dua jam. Setelah direbus dua jam, angkat, kain utama diangin-anginkan dan kreasi ecoprint dapat dilihat corak motif dan warnanya.
“Meleset-melesetnya dari proses ecoprint tetap ada. Bisa pada saat menata daun, bahan pewarna terlalu pekat. Bisa pula dari unsur daun. Beda tempat asal daun bisa hasilkan corak berbeda. Umpamanya, daun jati dari Gunungkidul lebih kuat warnanya daripada daun jati yang tumbuh di kota,” ungkap Wahyuni.
Perihal warna dan tingkat kecerahan kain ecoprint, sangat tergantung dari jenis kain juga teknik dan proses ecoprint yang dilakukan. Namun, proses perpaduan warna hingga gradasi warna tetap dimungkinkan hanya butuh skill dan ketelatenan mengerjakan ecoprint.
Dari upaya mencoba dan terus berproses pada ecoprint, Wahyuni berani menularkan kemampuan berbagi ilmu ecoprint kepada siapa saja yang berminat. Sebelum pandemi ia biasa menerima kursus ecoprint kepada 5-7 orang sekaligus dalam waktu sehari belajar dan praktik bikin ecoprint.
“Peserta belajar ecoprint seharian. Pulangnya dapat dua produk. Ditawarkan kepada calon peserta mau pakai kain ukuran selendang atau kain dua meter. Kain yang mau dipakai bisa dipilih kain katun atau sutra,” paparnya.

Ratusan orang telah mengikuti kursus ecoprint yang dibuka Wahyuni di rumahnya. Mereka datang dari berbagai kota. Bagi Wahyuni, produk kain ecoprint selain indah juga ramah tak merusak lingkungan. “Kain ecoprint hasilnya indah. Handmade, tak bakal sama produk satu dengan yang lain,” ujarnya.
Lebih dari itu, bagi Wahyuni, menekuni ecoprint bisa dijalani dengan santai, membuatnya tetap produktif mengisi masa purnatugas, menjadikannya lebih dekat dan akrab dengan lingkungan. Karena kebutuhan daun-daun kaya tanin, ia pun jadi rajin berkebun. “Semua dikerjakan dengan hati. Nawaitu-nya agar manfaat bagi orang banyak dan berkah,” papar sosok yang mempublikasikan karya ecoprint kepada khalayak melalui IG Yunico_ecoprint dan Facebook: Oma Yuni serta kontak WhatsApp: 0812-2886-7692.
Melalui ecoprint, Wahyuni yang oleh cucu-cucunya akrab disapa Oma Yuni berharap dapat turut andil meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di pedesaan. Proses kreatif ecoprint bisa dijangkau semua kalangan dan inovasi ecoprint bisa memberdayakan warga masyarakat termasuk warga masyarakat di pedesaan sebab produk ecoprint dan kreativitas seninya terbilang mempunyai ceruk pasar. (Sukron)








