Adat, Agama, dan Percepatan Pembangunan di Madina

Masjid Agung di Kabupaten Madina, Sumut, Minggu (19/3/2023). (Foto: Wiradesa)

MANDAILING Natal (Madina) dikenal sebagai Serambi Mekah-nya Sumatera Utara. Wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Islam ini masih tetap menjalankan adat istiadat Batak Mandailing, taat melaksanakan syariat Islam, dan sedang memacu percepatan pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Ketika pewarta Wiradesa.co berkunjung ke Madina selama tiga hari, mulai Sabtu sampai Senin 20 Maret 2023, merasakan denyut nadi Kota Madina yang diwarnai nuansa adat Batak dan relijiusitas umat Muslim. Masyarakat setempat masih menjalankan upacara atau prosesi adat istiadat Batak Mandailing dan taat beribadat sesuai syariat Islam.

Pada Sabtu (18/3/2023) malam, pewarta desa, berkesempatan menghadiri acara Manarimo Tuor di Panyabungan, Madina. Kebetulan malam itu ada seserahan mahar dari orangtua calon pengantin pria asal Yogyakarta kepada orangtua calon pengantin perempuan asli Mandailing Natal. Calon pengantin pria bernama Abdul Aziz Bagaskara dan calon pengantin perempuan Anggita Mahyudani Rangkuti. Keduanya alumni Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran” Yogyakarta.

Prosesi Patibal Sere dan Manjahit Tuor, dipimpin Ketua Adat setempat Kholid Nasution. Ada empat pihak yang hadir pada acara penyerahan dan penerimaan mahar, yakni Ketua Adat, Mora, Kahanggi, dan Anak Boru. Ketua Adat atas nama Kholid Nasution, Mora Mhd Idris, Kahanggi Safran Rangkuti, dan Anak Boru Derlan Batubara.

Acara Patibal Sere dan Manjahit Tuor diawali dengan jamuan makan Marsipulut. Makanan ini terdiri dari Ketan dan Inti. Ketan itu lekat atau gampang menempel, Inti berasa manis. Makanan Inti terbuat dari campuran parutan kelapa dan gula. Cara makannya tidak pakai sendok, tetapi pakai tangan langsung. Sehingga makanannya mudah melekat di jari-jari tangan.

Baca Juga:  Turnamen Tenis Meja Piala Ketua DPRD Sleman, Kalah di 16 Besar Sudah Dapat Hadiah

“Makanan Marsipulut ini wajib disediakan setiap mengawali acara Manarimo Tuor. Makanan yang ‘pliket’ atau mudah melekat di jari-jari tangan itu menyiratkan arti mempererat jalinan keluarga antara pihak keluarga temanten pria dan temanten perempuan,” ujar Evidesvita, Kepala TU RSUD Madina yang mendampingi calon pengantin pria. Kebetulan orangtua Evi berasal dari Jawa.

Urutan prosesinya, Kahanggi dan Anak Boru menyampaikan ke Raja, kalau ada yang mau meminang Anggita Mahyudani Rangkuti. Orangtua dan rombongan calon pengantin pria akan memberikan mahar dan sekaligus menentukan tanggal dan hari akad nikah.

Pada prosesi Manarimo Tuor itu terjadi dialog antar keempat pihak, Ketua Adat, Mora, Kahanggi, dan Anak Boru. Intinya minta penjelasan apa benar ada pihak yang mau meminang putri yang bersuku Batak bermarga Rangkuti. Apa dan nilainya berapa mahar tersebut dan selanjutnya dicek oleh tetua adat, apa benar dan sesuai dengan yang disampaikan.

Prosesi seserahan mahar bisa berlangsung larut malam. Apalagi jika jalannya musyawarah berlangsung alot. Tapi jika proses kesepakatan berjalan lancar, acara adat istiadat ini biasa selesai pukul 24.00. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama ala masyarakat Mandailing Natal.

Prosesi adat Batak Mandailing, Manarimo Tuor. (Foto: Wiradesa)

Memasuki wilayah Kabupaten Madina, pewarta desa dikejutkan dengan bentuk rumah-rumahan kecil yang berada di pinggir jalan. Bangunan itu mirip dengan tempat lumbung padi di Jawa. Ternyata bangunan rumah kecil yang terbuat dari papan kayu itu untuk tidur para santri Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.

Ponpes Musthafawiyah yang didirikan 12 November 1912 oleh Syeikh Musthafa Husein Al-Mandili ini merupakan pesantren tertua di Pulau Sumatera. Pesantren yang berlokasi di Desa Purba Baru, Lembah Sorik Merapi, Madina, telah banyak mencetak ulama di Indonesia. Kini pesantren yang sudah berusia satu abad lebih, dipimpin oleh H. Bakri bin Abdullah bin Musthafa bin Husein bin Umar Nasution.

Baca Juga:  Jelang Libur Lebaran, Mendes Minta Desa Wisata Terapkan Protokol Kesehatan

Para alumni Pesantren Musthafawiyah banyak bertebaran di seluruh Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, Riau, dan Jambi. Di antara mereka ada juga yang melanjutkan studi di Mesir, Suriah, Yordania, Yaman, India, Makkah, Maroko, Sudan, dan Pakistan.

Keberadaan Ponpes Musthafawiyah semakin menegaskan bahwa Madina merupakan wilayah kabupaten pencetak ulama besar atau tokoh agama Islam di Indonesia. Di kabupaten ini terdapat sejumlah masjid yang megah, salah satunya Masjid Agung Madina.

Bangunan petak rumah, tempat tidur para santri Pesantren Musthafawiyah di Desa Purba Baru, Lembah Sorik Merapi, Madina, Minggu (19/3/2023). (Foto: Wiradesa)

Prioritas Pembangunan

Sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara, yang menelorkan sejumlah tokoh nasional, saat ini Madina terus diupayakan untuk mempercepat pembangunan. Salah satu tokoh nasional yang mendorong upaya percepatan pembangunan di Madina adalah Prof Todung Mulya Lubis. Kebetulan Prof Todung, perantau asal Madina, sekarang menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D).

Usai berkunjung dua hari ke Madina, Sabtu dan Minggu 19 Maret 2023, Prof Todung Mulya Lubis memaparkan TP2D memprioritaskan tiga proyek pembangunan di Madina. Yakni peningkatan status dari perguruan tinggi STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Madina menjadi UIN (Universitas Islam Negeri), Bandara Bukit Malintang, dan pembangunan PLTA di Madina.

“Kami akan segera berkomunikasi dengan Kementerian Agama untuk proses perubahan status dari STAIN menjadi UIN. Dalam waktu dekat kami bertemu Menteri Agama,” ujar Prof Todung Mulya Lubis, saat menghadiri jamuan makam malam di Rumah Dinas Bupati Madina, Senin malam.

Baca Juga:  Naik Kereta Gantung Menjangkau “Atap Indochina”

Selain tiga prioritas pembangunan, juga ada sejumlah rencana pembangunan di Madina, antara lain pembangunan RSUD Madina di Panatapan dan Stadion Adam Malik. Pembangunan RSUD Madina diperkirakan membutuhkan biaya Rp 220 miliar.

Soal RSUD di Panatapan, Prof Todung mengatakan pembangunan rumah sakit perlu waktu. Dia berharap swasta ikut membantu dalam skema public private partnership. “Swasta harus ikut, jika mereka ingin Madina memiliki keberlanjutan pembangunan, mereka harus melakukan sesuatu untuk Madina,” tegasnya.

Ketua TP2D Prof Todung Mulya Lubis menegaskan Bandara Bukit Malintang akan memiliki potensi multiplier effect (efek ganda) apabila telah beroperasi. Bandara yang akan diberi nama Bandara Abdul Haris Nasution direncanakan pembangunannya selesai Desember 2023 dan diresmikan tahun 2024.

Pembangunan Bandara di Bukit Malintang. (Foto: Istimewa)

Bupati Madina HM Ja’far Sukhairi Nasution, menyampaikan tidak ada lagi kendala teknis pada pembangunan Bandara di Bukit Malintang. “Kami butuh dukungan dan doa kita semua agar cita-cita kita terwujud, bahwa Madina bisa memiliki embarkasi sendiri dengan wilayah Tabagsel, hingga masyarakat tidak perlu repot lagi ke Medan dengan menempuh jalan 12 jam,” terangnya.

Mencermati pelaksanaan adat istiadat, ketaatan masyarakat menjalankan ibadah agama, besarnya perhatian para tokoh terhadap pendidikan, dan semangatnya aparat pemerintah Kabupaten Madina, maka sangat mungkin Madina ke depan menjadi pusat peradaban dan model pembangunan di Sumatera Utara, bahkan di Indonesia. Cuma ketaatan masyarakat terhadap hukum negara, perlu ditingkatkan. (Ono Jogja)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *