BANYUMAS – Dunia sastra sedang mengalami perubahan. Perubahan itu seiring kemunduran yang dialami media cetak atau koran. Sastrawan dan budayawan Banyumas Ahmad Tohari tak menampik hal itu.
Kepada wiradesa.co yang bertamu ke kediamannya di Desa Tinggarjaya Jatilawang Banyumas, Kamis 13 Juli 2023, penulis karya masterpiece Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), mengatakan, kini makin sedikit karya sastra yang terbit di koran cetak.
“Tinggal beberapa koran cetak saja yang masih menerbitkan cerita pendek, puisi dan esai sastra,” terang Tohari.
Penulis cerpen ‘Mereka Mengeja Larangan Mengemis’ yang menjadi cerpen terbaik Kompas 2019 dan menjadi judul buku kumpulan cerpen terbaik Kompas 2019 menuturkan, sejak dulu ia menganjurkan agar seorang sastrawan itu punya pekerjaan sampingan. “Dari dulu sekali saya anjurkan agar seorang sastrawan punya pekerjaan sampingan. Bisa pegawai negeri, swasta, guru bahkan jadi pengusaha. Karena dengan perut kenyang seorang sastrawan bisa berkarya. Jika perut lapar, tidak bisa,” kata Tohari diiringi derai tawa lepas di teras depan rumahnya yang sejuk lantaran terlindung pepohonan.
Banyak sastrawan dicontohkan Tohari menggeluti pekerjaan lain seperti menjadi seorang dosen, ada Budi Darma juga Seno Gumira Ajidarma. “Menulis sambil menggeluti bidang pekerjaan lain adalah hal yang lumrah dan normal. Normalnya orang butuh sehat. Penghasilan kurang bagaimana bisa sehat?,” timpalnya.
Dia pun mencontohkan sebagai penulis buku novel fenomenal karena sejak pertama cetak 1982 atau telah berusia 40-an tahun, dicetak ulang sampai 20 kali, honor rata-rata dari royalti sekitar Rp 4 jutaan sebulan. “Royalti terakhir yang saya terima Rp 25 juta selama masa jual enam bulan,” ujar Tohari yang menyebut besaran honor menjadi cukup baginya lantaran punya istri pensiunan guru negeri dan tak lagi membiayai kuliah anak.
Meski begitu, Tohari terus menyemangati para penulis muda agar tak patah semangat. Ia mengarahkan agar penulis muda mengikuti arus zaman. “Zaman saya yang menulis di media cetak memang telah habis. Eranya sudah berganti. Tapi sastra tak akan mati,” ucapnya.
Ia tak meremehkan karya sastra yang terbit melalui kanal digital, bahkan terbit di media sosial sekalipun meski acapkali tanpa kurasi. Jadi sastrawan menjadi lebih gampang tetapi sastrawan versi sendiri dengan jalan berkarya di kanal media sosial. Masyarakat pembaca akan berperan menjadi hakim. “Ukuran bermutu sekarang bergeser yakni yang makin banyak dibaca masyarakat. Tapi yang dimaksud bermutu masih dalam tanda kutip ya, karena tanpa kurasi,” jelasnya.
Lebih jauh, Tohari memberi kiat kepada para penulis muda agar menghasilkan karya bermutu dan menjadi penulis yang karyanya diperhitungkan. Seorang penulis, menurutnya, mestinya juga seorang pembaca yang kuat dan serius. Banyak membaca dulu baru kemudian menulis. Dia mencontohkan dirinya. Dulu sebelum banyak menelorkan karya tulisan, terlebih dahulu banyak menulis catatan harian atau diari. “Dan ternyata itu modal awal dalam proses menulis berikutnya,” tuturnya.
Selain banyak membaca seorang penulis haruslah punya imajinasi yang kuat. Tohari yang karyanya (RDP) diterbitkan ke Bahasa Inggris, Belanda, Jerman, China dan Jepang sudah mulai mengembangkan dunia imajinasi ketika ia mendengarkan dongeng saat masih anak-anak.
Penting pula, seorang penulis punya komitmen kuat terhadap kemanusiaan. “Tanpa ketiga hal itu, akan susah menjadi seorang penulis yang (karyanya) diperhitungkan,” beber Tohari.
Selanjutnya, seorang penulis perlu terus-menerus mengasah kemampuan berbahasa Indonesia. Dia mencontohkan tulisan-tulisannya baik buku maupun cerpen memakai kaidah bahasa yang sudah final sehingga para editor saat menerima naskahnya nyaris tak bekerja.
Tohari mengisahkan, dia tak menduga karya RDP akan menjadi sebuah masterpiece bagi dirinya. Di usianya yang masuk 76 tahun, Tohari kembali menajamkan ingatan bagaimana masa-masa ia berkarya dengan mengeluarkan energi secara total. Mengabaikan tidur, sering lupa makan, termasuk mengabaikan urusan belanja keluarga. Ia mengaku membutakan mata terhadap hal-hal seperti itu. Bahkan ia meninggalkan pekerjaan sebagai redaktur di Harian Merdeka sehingga otomatis keluarganya goncang. Apalagi sang istri dulu masih sebagai guru bakti dengan gaji kecil.
Di samping total dalam berkarya, Tohari banyak belajar dari sejumlah sastrawan besar seperti Mochtar Lubis dan penulis Catatan Pinggir Majalah Tempo Goenawan Mohammad (GM). Ia juga belajar dari penulis dan jurnalis Arswendo Atmowiloto yang masih satu angkatan.
“Tulisan Goenawan Mohammad penggunaan bahasa dan susunan kata dalam kalimat itu bersih sekali. Ibarat kabel listrik materinya tembaga,” imbuh Tohari sembari menjelaskan tulisan GM dia ibaratkan kabel bermaterikan tembaga di mana tahanannya sangat kecil. Artinya pemikiran-pemikiran GM sampai semua kepada para pembaca tanpa sedikitpun menimbulkan multitafsir dan friksi alias tak membuat pembaca berangan-angan bukan pada hal yang dimaksud GM.
Masih terus aktif membaca karya sastra baik buku dan koran di kediamannya yang asri, Tohari juga masih aktif berkarya untuk Kalawerta Penginyongan Majalah Berbahasa Jawa Banyumasan Ancas. Dalam sebulan setidaknya ia harus menghadiri rapat di Kantor Redaksi Majalah Ancas di Purwokerto. Rapat awal bulan untuk rapat redaksi dan evaluasi. Rapat pertengahan bulan, rapat persiapan naskah.
“Saya masih mengedit naskah saat pracetak. Mengubah judul yang kurang tepat atau mengubah judul yang kurang kuat,” tandas Tohari yang saat ini diamanahi sebagai Ketua Yayasan Carablaka dan didapuk menjadi Pemimpin Umum Majalah Ancas. (Sukron Makmun)








