Kipo merupakan salah satu kue khas Kotagede. Makanan tradisional ini, konon sudah ada sejak Kotagede menjadi Pusat Pemerintahan Pertama Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1586 sampai 1613 Masehi.
Makanan jadul ini bentuknya pipih, kecil, warna hijau, tapi rasanya enak, manis, gurih, dan seperti ada parutan kelapanya. Sehingga yang makan kaget, merasakan sensasi, lantas menimbulkan tanda tanya.
Kue aneh ini dulu digemari Raja dan keluarganya di Kerajaan Mataram Islam Kotagede. Kalangan kerajaan bertanya-tanya, karena saat itu panganan tersebut aneh dan belum ada namanya. “Iki opo (Ini apa)”.
Karena kalangan kerajaan terus bertanya “Iki opo”, maka pembuat kue menamakan makanan tradisional yang dihasilkannya itu dinamai Kipo, atau singkatan dari “Iki opo”. Dan sampai sekarang kue khas Kotagede itu bernama Kipo.
Namun di balik sejarah penamaan kue tersebut juga ada arti filosofisnya. Kipo atau Iki Opo itu mengandung makna agar seseorang tidak malu bertanya jika tidak mengetahui atau tidak mengerti. Saat ini ada pepatah terkenal “Malu bertanya sesat di jalan”.
Kue Kipo sekarang banyak dijual di kios-kios kue dan snack Pasar Legi Kotagede dan sekitarnya. Namun ada sebuah kios yang berada di barat Pasar Legi Kotagede, tepatnya di Jalan Mondorakan 27 yang mengklaim pembuat kue Kipo pertama.
Di depan kios, tertulis “Khas Kotagede KIPO (Bu Djito) Asli dan Yang Pertama”. Kemudian pada tas, wadah atau tempat oleh-oleh tertulis “Kios KIPO (Bu Djito) Asli dan Yang Pertama”. Jika klaim ini benar, maka Bu Djito merupakan pembuat kue Kipo yang pertama di Kotagede.
“Saya ini generasi ketiga,” jelas Istri Rahayu saat ditemui Wiradesa.co di Kios “KIPO” (Bu Djito) Jalan Mondorakan 27 Kotagede, Yogyakarta, Selasa 23 Desember 2025. Bu Istri mengungkapkan bahwa keluarganya hanya membuat satu kue, yakni Kipo. Sedangkan kue yang lain itu titipan atau yang membuat orang lain.
Jika merujuk pada sejarah, tentu sudah ada yang membuat kue Kipo pada abad ke-15. Sehingga nenek moyang, khususnya yang tinggal di sekitar Kerajaan Mataram Islam Kotagede sudah ada yang membuat kue tradisional tersebut.
Lepas dari perdebatan sejarah, keluarga Bu Istri dalam membuat kue Kipo, taat pada resep leluhurnya, tanpa bahan pengawet. Komposisi bahannya hanya sederhana, yakni tepung ketan, gula Jawa, dan kelapa muda. Karena tanpa pengawet, kue ini sehat dan tahan lama.

Kue yang tersedia di kios “KIPO” (Bu Djito), juga kebanyakan kue khas Kotagede, seperti Kembang Waru, Kue Ukel, Kue Banjar, Yangko, Lego Moro, dan Jadah Manten. Nama-nama kue ini juga ada artinya dan bermakna bagi kehidupan manusia.
Seperti kue Kembang Waru itu bentuknya seperti bunga dengan delapan kelopak. Kue yang manis dan enak tersebut melambangkan delapan jalan utama atau sesuau yang penting bagi kehidupan, meliputi matahari, bulan, bintang, air, tanah, angin, awan, dan samudra.
Selain menyusuri Jalan Mondorakan yang berada di sisi barat Pasar Legi Kotagede, wartawan Wiradesa.co juga melewati Jalan Karanglo (sisi timur), Jalan Kemasan (sisi utara), dan Jalan Masjid Besar (sisi selatan). Ternyata kios-kios di Pasar Legi Kotagede dan sekitarnya juga banyak yang menjual kue-kue khas Kotagede.
Kerajaan Mataram Islam di Kotagede sampai saat ini masih meninggalkan jejak peradaban, bangunan bersejarah, dan tempat-tempat yang masih bermanfaat bagi masyarakat. Bangunan bersejarah yang sampai saat ini masih berfungsi, di antaranya Pasar Tradisional Pasar Legi Kotagede. Selain itu juga ada Masjid Agung Mataram, Kompleks Makam Raja-raja Mataram, dan rumah-rumah tradisional.
Menyusuri Lorong-lorong Kotagede, wisatawan akan bisa belajar sejarah peradaban Kerajaan Mataram Islam, dan menikmati kuliner tradisional khas Kotagede. Pulangnya, selain membawa ilmu pengetahuan tentang masa lalu, juga bisa membawa oleh-oleh makanan khas Kotagede, seperti Kipo, Kembang Waru, Kue Ukel, Kue Banjar, Lego Moro, Yangko, dan Jadah Manten. (Ono)








