YOGYAKARTA – Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta asal Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan (Sumsel), Ahmad Nanang, memprihatinkan masalah pendidikan dan sosial di desanya Desa Sungai Belida. Sebagian besar penduduk asal tempat kelahirannya belum paham benar akan pentingnya pendidikan dan hubungan antarwarga asli dan pendatang.
Ahmad Nanang kepada Wiradesa, Selasa 4 Oktober 2022, memaparkan Desa Sungai Belida, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, merupakan desa dengan kurang lebih 4.500 penduduk. Kebanyakan yang tinggal di desa ini merupakan transmigran dari Jawa yang mayoritas beragama Islam.
Desa Sungai Belida termasuk desa yang berkembang dalam segi sosial dan ekonominya. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Mereka menanam padi, karet, sawit, dan juga memproduksi batu bata. Desa Sungai Belida termasuk salah satu desa di wilayah OKI yang didiami penduduk asal Suku Jawa.
Menurut Nanang, berbicara mengenai kehidupan sosial masyarakat di Desa Sungai Belida sebenarnya sudah cukup baik. Masyarakat dapat dikatakan hidup dengan aman dan sejahtera. “Namun, sebagai warga Desa Sungai Belida, ada beberapa aspek yang perlu dibenahi embali,” ujar mahasiswa Semester V UIN Yogyakarta ini.
Aspek yang perlu dibenahi itu, pertama, tentang pendidikan. Fasilitas pendidikan sebenarnya sudah cukup mapan di desa ini, dengan adanya 3 gedung sekolah tingkat SD, 1 tingkat SLTP, dan 1 tingkat SLTA. Tetapi, dengan kemapanan fasilitas pendidikan tersebut nyatanya belum mampu memberikan kontribusi penuh terhadap tujuan pendidikan itu sendiri bagi masyarakat.
Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pendidikan hanyalah suatu aspek yang bersifat formalitas (yang penting sekolah, biar bisa kerja). Padahal menurut Nanang, pendidikan seharusnya memiliki peran lebih dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat di desa, terlebih pada pemuda-pemudinya. Masih kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan (yang bukan hanya sekedar formalitas), sehingga menimbulkan kesadaran magis yang berkembang di kalangan remaja-remaja desa.
Ada satu kutipan dari seorang teman mahasiswa “Hidup tidaknya suatu desa, tergantung pada pemuda-pemudinya”. Hal itu dapat menggambarkan dengan jelas bahwa peran anak-anak muda ini sangat dibutuhkan. Suatu masalah itu pasti ada penyebabnya. Salah satunya adalah kurangnya peran pemerintah desa dalam menyoroti aspek tersebut, yang kemudian menjadikan tidak adanya tindak lanjut untuk memperbaiki hal tersebut.
Kedua, yaitu permasalahan yang muncul akibat sentimen etnis masyarakat. Desa Sungai Belida merupakan desa yang mayoritas penduduknya adalah transmigran dari Jawa. Tak khayal masih kental juga dengan budaya-budaya yang dibawa dari tempat asalnya walaupun sudah melalui beberapa generasi. Adanya keragaman budaya tersebut menjadikan masih ada sedikit kesenjangan sosial antara penduduk ‘Jawa’ dan penduduk asli. Terkadang juga muncul konflik-konflik kecil yang timbul akibat dari ketidaksamaan tersebut.
Dari uraian persoalan tersebut, Nanang ingin menggarisbawahi bahwasanya pendidikan di desa adalah hal yang sangat penting. Pendidikan bukan hanya sebuah formalitas belaka. Hakikat pendidikan yang seharusnya dapat menjadikan masyarakat yang lebih maju. Juga konsen pemerintah desa yang seharusnya intens dengan persoalan-persoalan sosial dalam desa sehingga dapat mengetahuinya dan memberikan solusi ataupun kebijakan untuk sebuah perubahan ke arah Desa Sungai Belida yang lebih baik. (*)