KULONPROGO – Sebanyak 23 pengurus kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kulonprogo menghadiri workshop Pengelolaan Wisata Desa yang diselenggarakan Komunitas Wisata Hijau Lestari di Padepokan Kilen Lepen Padukuhan Karangwetan Salamrejo Sentolo. Workshop dibuka Ketua DPRD Kulonprogo Akhid Nuryati SE.
Akhid Nuryati menyambut baik atas terselenggaranya workshop yang menghadirkan empat narasumber: Arif Sulfiantono (Dinas Pariwisata DIY), Jatmiko (Direktur PT Manajemen CBT Nusantara), Mujimin (Pokdarwis Tlatar Seneng Tebing Breksi), Sihono HT (Wiradesa.co).
“Dengan adanya workshop pengelolaan wisata desa akan ada masyarakat khususnya pengurus pokdarwis di Kulonprogo yang teredukasi. Syukur akan termotivasi dan mau mengimplementasikannya,” ujar Akhid dalam sambutannya, Sabtu 26 Agustus 2023.
Dalam paparannya Jatmiko menjelaskan, pengembangan desa wisata, lurah menjadi salah satu kunci kebijakan. Kepada para pelaku wisata desa dan pengurus pokdarwis Jatmiko berpesan agar tak segan-segan melakukan studi banding baik kepada desa atau kalurahan yang sukses dalam mengembangkan pariwisatanya maupun studi banding mengunjungi mereka yang gagal.
“Benchmark atau studi banding penting dilakukan pokdarwis. Untuk mengetahui bagaimana bisa berhasil. Kepada yang gagal juga jadi tahu kenapa bisa gagal?,” ujarnya sembari mencontohkan pengembangan balai ekonomi desa (Balkondes) di wilayah Borobudur sebagian sukses sebagian lagi masih harus ditingkatkan dan dibenahi. Dari 20 Balkondes yang menduduki peringkat bagus ada enam Balkondes, yang peringkat dua ada delapan Balkondes sementara enam Balkondes ada di peringkat paling bawah. Yang peringkat satu dan dua pendapatannya bisa mencapai Rp 2-3 miliar pertahun sementara grade terbawah enam Balkondes pendapatan hanya kisaran Rp 50 juta setahun.
“Balkondes terbaik tahun kemarin Balkondes Karangrejo pendapatan mendekati Rp 3 miliar. Pembangunan awal menelan biaya Rp 5 miliar. Direnovasi dengan biaya Rp 14 miliar. Kemudian Balkondes diserahkan sebagai aset desa. Dengan dibangunnya Balkondes dengan modal total Rp 19 miliar maka perangkat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat harus kompak. Kalau tidak kompak butuh ekstra tenaga untuk berhasil,” tandasnya.

Jatmiko mengingatkan, dari studi banding yang dilakukan akan dapat direncanakan, apa yang mau dilakukan seperti membikin bisnis plan, mengenali potensi. Kalau potensinya bagus jalan sendiri tak masalah, namun jika potensinya sedang lebih baik bermitra.
“Masyarakat juga harus memahami bahwa bisnis pariwisata kembalinya modal lama. Apalagi wisata di desa lebih padat karya. Tak bisa setahun dua tahun balik modal, sehingga butuh strategi bisnis yang tepat,” ujarnya.
Mengembangkan desa wisata, masyarakat tak perlu terjebak harus membangun sebuah objek wisata di wilayahnya. Tetapi masyarakat bisa lebih mengenali potensi yang ada di wilayahnya terlebih dahulu. Baru disesuaikan konsep wisata yang tepat. Hal itu disampaikan Arif Sulfiantono.
“Ada potensi pangan pertanian yang bagus, bisa bikin konsep wisata edukasi mandiri pangan. Peternakan kambing, perikanan bagus, itu bisa diarahkan menuju wisata edukasi,” jelas Arif.
Arif menegaskan membikin paket wisata bisa dikonsep dengan tidak terlalu rumit. Yang terpenting masyarakat menjadi subjek dari perumusan perencanaan paket wisata. “Cermati dulu potensi lokalnya. Paketnya bisa bermacam-macam eduwisata kopi, madu lanceng, fotografi, wisata tanam anggrek, wisata pelestarian burung, bahkan acara merti desa sambil menanam pohon pun bisa jadi alternatif paket wisata,” jelasnya.
Arif menambahkan, dalam pengembangan pariwisata desa seyogianya tetap memperhatikan isu kelestarian lingkungan (ekowisata) dan bersandar pada tiga pilar penunjang ekologi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat. (Sukron)