Perbanyak TPS, Protokol Kesehatan, Atur Waktu Pencoblosan

Pilkada di tengah pandemi Covid-19 (Foto: Tempo)

YOGYAKARTA – Potensi peningkatan penularan Covid-19 pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar saat pandemi Covid-19 belum bisa dikendalikan sangat mungkin terjadi. Karena itu, bila Pilkada tetap dilakukan, perlu dilakukan sejumlah adaptasi, salah satunya dalam manajemen pencoblosan. Hal itu disampaikan epidemiolog UGM dr Riris Andono Ahmad.

“Kita perlu memperbanyak TPS dan melatih petugas pemilihan. Mereka harus bisa dan mau melakukan penolakan apabila ada pemilih yang melanggar protokol kesehatan dan atur waktu pencoblosan dengan ketat,” ucapnya.

Hal ini ia sampaikan dalam Serial Webinar Pilkada 2020 bertajuk “Menjamin Hak Pilih dan Partisipasi Pemilih” yang diselenggarakan Selasa (3/11/2020). Riris memaparkan pengalaman sejumlah negara dalam penyelenggaraan pemilihan legislatif ataupun eksekutif di masa pandemi. Sejumlah negara menurutnya mampu mengendalikan pandemi, dilihat dari tidak adanya peningkatan yang signifikan dalam jumlah transmisi pasca pemilihan. Meski demikian, di sejumlah negara, kasus Covid-19 terlihat melonjak tajam.

Salah satu kasus yang ia sebutkan adalah Malaysia, yang di samping Vietnam menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang dinilai cukup berhasil dalam mengendalikan laju transmisi sebelum pemilu yang berlangsung pada 26 September silam. Namun pasca periode kampanye dan pemilihan, terjadi peningkatan kasus secara signifikan.

Baca Juga:  Gotong-royong Menuju Kebaikan, Komunitas Segamubeng Bagikan 500 Bungkus Nasi

Hal itu menjadi peringatan bagi Indonesia yang akan menyelenggarakan pemilihan, sementara selama ini pengendalian laju transmisi belum berhasil dilakukan. “Ketika dilakukan di negara yang sudah sangat efektif melakukan pengendalian, event pemilihan bisa meningkatkan penularan menjadi jauh lebih besar,” ucapnya.

Dari pengalaman tersebut, ia mengungkapkan dua titik kritis dari penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, yaitu kampanye tradisional yang akan menimbulkan kerumunan, juga disinformasi yang akan meningkatkan ketidakpercayaan publik. Dalam kesempatan yang sama, pakar politik dan pemerintahan UGM, Mada Sukmajati, mengungkapkan, perbincangan terkait rencana Pilkada 2020 di media sosial diwarnai nuansa keresahan dan penolakan.

Dari hasil analisis Polgov, dalam rentang waktu Maret hingga Oktober 2020 terdapat 52.734 twit tentang topik penundaan Pilkada. Di samping itu, sejumlah lembaga survei mencatat mayoritas responden menyatakan tak setuju terhadap penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 dan memilih opsi penundaan Pilkada.

Hal ini, ucapnya, menambah kompleksitas persoalan terkait pemilihan di Indonesia, terutama berkaitan dengan angka partisipasi, di samping masalah-masalah yang selalu muncul dari tahun ke tahun. “Selain kontestasi, partisipasi adalah unsur yang utama dalam pemilu,” kata Mada. Penyelenggara pemilu, terangnya, perlu terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka telah secara optimal menegakkan protokol kesehatan di tiap tahapan. (Sukron)

Baca Juga:  Pemuda Kwaren Rangkai Alat Handsanitizer dan Cek Suhu Otomatis Murah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *