YOGYAKARTA – Disetujuinya usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun menuai pro dan kontra di masyarakat. Usulan ini disuarakan melalui aksi demonstrasi pada 17 Januari 2023 di depan gedung DPR RI oleh tiga asosiasi pemerintah desa dengan alasan efektivitas kinerja kades serta untuk mengurangi konflik pasca pemilihan.
Namun Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kasus korupsi di level desa konsisten menempati posisi tertinggi sejak 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Perpanjangan masa jabatan kades dinilai akan semakin membuka keran penyalahgunaan kekuasaan.
Persoalan tersebut mendorong empat mahasiswa UGM melakukan penelitian untuk memetakan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Selain itu juga mengukur keefektifan panjangnya masa jabatan terhadap kinerja lurah pada salah satu kelurahan di Sleman, DIY.
“Persebaran wacana pro kontra perpanjangan masa jabatan kades menarik untuk kami petakan. Kami ingin melihat bagaimana wacana ini bergulir di media massa nasional, aktor siapa saja yang mendukung, dan dari mana saja penolakannya datang,” jelas Rahma Kintara, mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan selaku ketua tim penelitian, Selasa (10/10).
Keempat mahasiswa ini merupakan tim Riset Sosial Humaniora yang termasuk dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM-RSH), ajang lomba tahunan yang diadakan oleh Kemendikbudristek. Keempatnya adalah Rahma Kintara (DPP, FISIPOL), Jasmine Hasna (DPP, FISIPOL), Rafi Manggala (Hukum), dan Aqil Ersan (MKP, FISIPOL). Tim ini dibimbing langsung oleh dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, Devy Dian Cahyati, S.IP., M.A.
“Selain itu, kami juga ingin melihat respons masyarakat Kalurahan Girikerto terkait wacana perpanjangan masa jabatan lurah. Nantinya, respons akan kami bandingkan dengan penilaian mereka terhadap kinerja lurah selama ini,” tambah Kintara.
Pemetaan wacana yang dilakukan Kintara dan tim menggunakan data dari 100 artikel berita yang mencakup 255 pernyataan dari 86 individu dan 18 organisasi di media massa nasional. Hasil pemetaannya menunjukkan bahwa wacana tersebut paling banyak diangkat oleh anggota DPR dengan frekuensi sebesar 60 pernyataan. Disusul oleh kepala desa dengan frekuensi sebesar 39.
“Kedua aktor tersebut paling banyak terkoneksi dengan wacana menjaga stabilitas. Sedangkan wacana kedua paling besar berasal dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi yang menolak perpanjangan masa jabatan kades dengan argumentasi mencederai demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan perpanjangan masa jabatan kades di tingkat nasional didominasi oleh kalangan elite pemerintahan,”paparnya.
Sedangkan, studi kasus pada satu kalurahan di Sleman tidak menujukkan hasil yang jauh berbeda. Hanya dua dari sepuluh tokoh yang diwawancarai, mendukung wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Keduanya berasal dari kalangan elite pemerintahan. Alasan penolakan masyarakat beragam. Ada yang menilai unsur keadilan lurah saat ini belum baik, ada yang menganggap sembilan tahun terlalu lama dan membuat kerja menjadi lamban, sampai pendapat bahwa masa jabatan tidak terlalu penting melainkan performa kepemimpinannya yang menentukan.
“Harapannya temuan-temuan ini akan bisa bermanfaat sebagai dasar pembuatan kebijakan ke depan,” pungkas Kintara. (*)