REVISI UU Pilkada yang belum lama ini diwacanakan mengundang banyak kontroversi serta kritik, karena dianggap melanggar konstitusi. Masyarakat dari berbagai lapisan melakukan aksi protes terkait upaya DPR dan Pemerintah yang ingin melakukan revisi UU Pilkada pasca putusan MK yang dianggap sudah final dan mengikat.
“Sebenarnya ini merupakan akumulasi dari protes-protes sebelumnya terkait dengan cara penyelenggaraan pemerintah yang tidak demokratis, tidak partisipatif, dan tidak transparan,” ujar Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Dr. Yance Arizona kepada wartawan, Selasa (28/8).
Aksi protes dan kritik sebagai respon kemarahan dari masyarakat tersebut menurutnya sangatlah wajar, karena DPR secara terang-terangan mengabaikan MK dan berusaha mengubah putusan MK yang seharusnya merupakan keputusan yang final.
Selain itu, Yance juga menyatakan bahwa pergerakan yang terjadi di lapangan merupakan sebuah pergerakan yang organik, dikarenakan masyarakat sudah jenuh dan muak dengan praktek politik yang tidak demokratis ini, dan karenanya mulai melakukan protes dengan turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. “Pergerakan yang terjadi kemarin merupakan sebuah pergerakan yang organik karena orang sudah jenuh, dan muak dengan praktik penyelenggaraan pemerintahan apalagi dengan politik dinasti, apalagi kalau kita lihat dalam konteks putusan MK dan Revisi UU Pilkada itu berkelindan,” ungkapnya.
Yance menilai tingkat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi sudah mulai menurun bahkan ketika revisi UU Pilkada batal dilaksanakan.
Berhasilnya aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa bersama elemen masyarakat menggagalkan revisi UU Pilkada, menurutnya Yance sedikit memberikan rakyat secercah harapan, karena hal ini bisa dianggap sebagai sebuah kemenangan kecil dari berbagai pertarungan yang terjadi dalam mempertahankan sistem demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia. “Semua lapisan masyarakat diharapkan untuk terus meningkatkan kepedulian terkait keberlangsungan proses politik sekaligus menjaganya,” pungkasnya. (*)