Tantangan Kompetensi Etika di Bisnis Era Digital

Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Prof Dr Supriyadi MSc CA Ak (Foto: Istimewa)

YOGYAKARTA – Proses bisnis di era teknologi digital dan Artificial Intelligence (AI) berkembang pesat. Digitalisasi proses bisnis yang berkembang sangat dramatis bahkan tak terbendung membuka tantangan sekaligus peluang baru.

Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Prof. Dr. Supriyadi, M.Sc., CA, Ak., menyebutkan ada beragam konsekuensi dari perkembangan teknologi termasuk menguji norma yang sesuai di masyarakat. Pelanggaran etika bisnis rentan terjadi pada industri digital.

Data Integrity Indonesia (2021) penelitian Kaspersky Lab yang melibatkan 26 negara di dunia, mencatat adanya indikasi pelanggaran etika bisnis pada industri digital terus meningkat. Sebanyak 26% dari konsumen digital di Indonesia menjadi korban kecurangan keuangan. Selain itu, Direktorat Kejahatan Siber di bawah Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia juga mengungkapkan kerugian konsumen yang disebabkan oleh e-commerce fraud mencapai milyaran rupiah.

“Melihat fenomena tersebut, profesi keuangan dan akuntansi harus melakukan transformasi besar seiring berkembangnya teknologi digital,” terangnya saat menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar berjudul Tantangan Kompetensi Etika di Bisnis Era Digital, Selasa (27/6) di Balai Senat UGM.

Baca Juga:  UGM Perkuat Diri Sebagai Kampus Inklusif Bagi Masyarakat Rentan Secara Geografis

Ia mengatakan akuntan membutuhkan lebih dari sekadar kompetensi profesional karena tindakan mereka berkontribusi pada budaya moral dan etika perusahaan. Peran ini perlu semakin diperhatikan karena akuntan dihadapkan pada bisnis berbasis teknologi digital yang bisa berdampak pada pertimbangan etis yang diperlukan. Pada bisnis di era digital, dilema etika tidak mudah diselesaikan karena sering melibatkkan perspektif etis, pertimbangan moral dan pilihan yang berbeda. Hal tersebut membawa konsekuensi bagi akuntan profesional harus mengembangkan kemampuan dan pengalaman profesionalnya termasuk kompetensi etis.

Lebih lanjut ia mengatakan karena pengembangan teknologi yang tidak independen maka pengembangan dan penerapan teknologi digital harus melibatkan pertimbangan norma moral. Selain itu juga memperhatikan prinsip etika untuk memastikan bahwa supremasi kepentingan para pemegang kepentingan (stakeholders) terlindungi.

Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan UGM ini menyampaikan kompetensi etika bagi para pemain seperti investor, manajer, akuntan, inovator, dan karyawan di bisnis era digital menjadi suatu keharusan. Kompetensi etika tidak cukup hanya pada pemahaman prinsip-prinsip etika saja. Namun, harus dilengkapi juga dengan kompetensi tanggung jawab, dan kompetensi keberlanjutan.

Baca Juga:  Ahmad Saifuddin Rois, Pembuat Slondok Naik Haji

Supriyadi menyebutkan bukan hal yang mudah mengintegrasikan secara lengkap ketiga kompetensi tersebut ke dalam karakter seseorang. Kendati begitu, penting bagi stakeholder untuk memiliki ketiga kompetensi ini agar bisnis yang menjadi amanahnya tetap dapat menyejahterakan seluruh pemegang kepentingan, berkelanjutan, dan tidak terlindas oleh perubahan lingkungan yang sangat dinamis. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *