Haidar Musyafa, Proses dan Progres Perjalanan Menjadi Penulis

YOGYAKARTA – Tinggal di rumah seluas 140 meter, Haidar Musyafa mempercantik halaman yang luas dengan rumput hijau juga tanaman hias. Di kediamannya yang asri di Sidoluhur Godean Sleman, penulis Haidar Musyafa menjaga konsistensi dalam berkarya.

“Selain butuh konsistensi, menulis butuh membaca. Jadi di rumah ini kerjanya gantian, kalau nggak menulis ya membaca,” kata Haidar membuka perbincangan dengan wiradesa.co, pada Jumat 5 Maret 2021.

Sekilas Perjalanan Hidup Sebelum Menjadi Penulis

Haidar Musyafa, pria kelahiran 1986 memiliki kegemaran membaca sejak berada di bangku Sekolah Dasar (SD). Baginya, membaca itu menyenangkan. Selain menambah wawasan juga memperkaya diksi dan kosa kata. Dari kegemaran membaca kemudian muncul keinginan untuk menulis. Aktif dalam menulis, ia sadari sudah sejak  Sekolah Teknik Menengah (STM).

Sebelum akhirnya menjadi penulis biografi, Haidar mengakui, keterampilan menulisnya  didapat dari proses belajar secara otodidak.

Sebelumnya, semasa masih STM, putra dari Sudarman dan Wantinem ini juga kerap mengirimkan naskah ke beberapa media, tapi selalu saja mendapat penolakan. Naskah artikel yang tak dimuat itu masih disimpan rapi di file-file berkas. Jumlahnya kurang lebih 50 naskah.

Haidar mengisahkan, dirinya pernah kuliah di STIE El-Rahma, mengambil jurusan Teknik Komputer. Namun, hal itu tak berlanjut lama. Karena terbentur keadaan dan biaya, membuatnya tidak bisa melanjutkan kuliah yang baru berjalan dua semester tersebut. Demi bisa memenuhi kebutuhan hidup, saat itu Haidar memilih untuk bekerja serabutan.

Latar belakang pendidikan berasal dari STM jurusan otomotif, sempat kuliah teknik komputer, dan pada akhirnya memutuskan menjadi penulis, menurutnya memang tak nyambung. “Hehe, jauh banget,” ujarnya seraya mengingat-ingat perjalanan karier. Diceritakan, pada 2010-2013, Haidar pernah bekerja di suatu penerbitan. Menurut keterangannya, motivasi untuk kembali terjun ke dunia penulisan berawal dari pekerjaannya di perbukuan. Sembari bekerja di penerbitan, Haidar belajar dan kembali mengasah kemampuan menulis, hingga akhirnya bisa menerbitkan buku pertama pada 2014. Sebelum itu, ia sering kali mengirimkan naskah buku ke penerbitan, tapi selalu mendapat penolakan. Sedangkan naskah buku yang telah terbit sebagaimana yang ia tuturkan, hingga tahun ini tak kurang dari 25 judul buku bertema Islam inspiratif.

Di luar tema Islam inspiratif, biografi tokoh-tokoh inspiratif dalam negeri kini menjadi fokusnya dalam menulis. Buku biografi pertamanya mengangkat tentang sosok Ustaz Jefri Al-Bukhori. “Menulis biografi tokoh tentu tak lepas dari kecintaan saya pada sejarah para tokoh,” ucapnya. Sebagai penulis biografi tokoh sejarah, Haidar berharap para pembaca dapat mengambil nilai-nilai perjuangan tokoh-tokoh tersebut. Berkaitan dengan jumlah buku biografi tokoh sejarah yang pernah dia tulis, kurang lebih sebanyak 10 buku dan itu belum termasuk buku biografi yang didapat dari proyek.

Baca Juga:  Kuwat Triyana Dikukuhkan Sebagai Guru Besar UGM

Pahit Manis Menjadi Penulis

Anak pertama dari dua bersaudara ini mengatakan, profesinya menjadi penulis full time dijalani dari 2015 hingga saat ini. Dalam proses penggarapan buku-buku yang telah terbit, bekerja sama dengan penerbit. Ia selalu berkomunikasi terlebih dahulu dengan pihak penerbit.

“Nggak pesanan, cuma diskusi bersama. Terutama dalam menentukan tema, outline, hingga riset ke lapangan,” katanya. Pria yang menikah dengan Duwi Listiani pada 2012 mengakui, menjadi penulis banyak pahitnya. “Sudah lelah-lelah nulis, buku belum tentu laku. Belum lagi kalau buku laku sedikit saja sudah banyak beredar buku bajakannya. Masih pula terbentur dengan pajak penulis yang cukup gede. Kalau ber-NPWP kan (pajaknya) sampai 15%. Terus dari penerbit, honor per buku yang terjual sekitar 10%. Jadinya, kalau dihitung-hitung ya, hasilnya minim,” katanya.

Meski begitu, prinsip hidup tetap bersyukur dan ikhlas dengan segala hal selalu dipegang dan selalu diupayakan. Baginya, yang terpenting tanggung jawab akan kewajiban untuk menghasilkan buku sudah selesai dan terdistribusikan dengan baik.

Mengenai bukunya laku atau tidak, yang menentukan adalah pasar. Sebagai penulis buku, ia pun turut membantu mempromosikan buku-buku tersebut. Meskipun perihal pendistribusian sudah menjadi tugas penerbit, tapi baginya, kalau penulis hanya berpangku tangan tanpa membantu penjualan, imbasnya akan kembali kepada si penulis. “Sebut sajalah, penghasilan kan dari sana, kalau nggak ikut gerak dan penjualan hanya laku sedikit, imbasnya pasti ke penulis juga,” tuturnya sambil mempersilakan makanan dan minuman yang telah tersaji di atas meja.

Sedangkan buah manis menjadi penulis ketika penjualan bukunya tinggi. Selain itu, kata Haidar, menjadi penulis full time, ibarat membangun usaha. Adakalanya mendapat rezeki yang tak disangka-sangka. Adakalanya pula tak bisa menebak royalti yang akan diterima pada setiap semester.

Andaikan seorang penulis memiliki buku yang banyak dengan angka penjualan bagus dan stabil, akan ada banyak kejutan. Namun, apabila hasil dari buku tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup, hal tersebut akan sangat memukul kondisi ekonomi si penulis.

Pengalaman memilukan lainnya juga pernah ia alami. Yaitu saat ia mendapat pesanan buku biografi yang  hanya berbekal kepercayaan tanpa adanya uang muka. Walhasil, di kala garapan buku tersebut sudah selesai, si pemesan tiba-tiba menghilang tanpa ada kabar. Otomatis, selain kehilangan modal selama proses pembuatan, tenaga yang dikerahkan pun tak terbayar sebagaimana mestinya. Menjadi penulis, bagi pria yang baru dua tahunan menempati rumah baru di Kampung Kragilan, benar-benar menguji nyali. “Tapi karena saya menikmati, ya saya jalani saja,” lanjutnya.

Baca Juga:  Interaksi Akrab Tamu dan Pemilik Rumah, Ruh Sebuah Homestay

Mengenang masa lalu, sebelum ia menjadi penulis, mengalami penolakan berkali-kali  sempat membuat keadaannya terpuruk. “Antara melanjutkan cita-cita atau nggak. Nah, itu paling pahit, yaitu meyakinkan diri sendiri untuk benar-benar mau terjun ke dunia kepenulisan. Dulu, saya anggap usaha saya nggak ada hasilnya, tapi setelah buku biografi yang saya tulis masuk pasar dengan penjualan cukup fantastis, saya kembali optimis,” kenangnya.

Ia sangat bersyukur, selama enam tahun berjuang untuk bisa menerbitkan karya kini telah berhasil. Rasa lelah tunai terbayar. “Saya percaya, kalau benar-benar yakin dengan apa yang menjadi pilihan, Tuhan pasti akan membukakan jalan terang. Karena menulis dikatakan pekerjaan ya memang pekerjaan. Tapi saya lebih memaknainya sebagai pembelajaran. Karena dengan menulis sebenarnya kita melakukan pengayaan dari apa-apa yang sudah kita tahu, kemudian kita ulang, dan akhirnya lestari di ingatan,” terang Haidar.

Proses Penulisan Biografi

Untuk penulisan sebuah biografi, Haidar mengatakan, prosesnya cukup panjang. Sebab buku biografi yang ia tulis termasuk resmi. Sebelumnya, ahli waris tokoh yang akan diangkat dimintai izin. Riset baru akan dilakukan ketika sudah memperoleh izin tersebut. Sebab baginya, menulis biografi harus menjaga marwah tokoh yang akan diangkat. Selain itu, sumber lain yang digunakan yakni literatur yang sudah dikaji tingkat kevalidannya serta dokumen-dokumen lama. Narasumber yang dimintai informasi sebagian besar dari kalangan masyarakat luas, keluarga, maupun pihak-pihak yang mengenal tokoh tersebut. “Jadi nggak hanya mengandalkan pengetahuan dari anggota keluarga saja. Sebab banyak juga dari mereka yang nggak tahu sejarah atau ketokohan bapaknya. Adakalanya lebih mengandalkan pada pakar yang memang mendalami,” lanjutnya kemudian.

Biasanya, setelah semua data terkumpul, baru mulai menulis. Berbeda dengan Haidar, ia memilih melakukan riset sambil menulis. Dengan begitu, bisa mempercepat proses penyelesaian buku. Untuk bisa menyelesaikan satu buku biografi, Haidar membutuhkan waktu sekitar satu tahun. Namun, jika bekerja lebih ekstra, dua buku terselesaikan dalam setahun.

Haidar Musyafa (Foto: Wiradesa)

Menulis sepanjang tahun, buku motivasi atau Islam inspiratif menjadi kesibukan di sela-sela menyelesaikan buku biografi. Satu buku motivasi atau Islam inspiratif dapat diselesaikan dalam waktu dua bulan.

Menulis biografi lanjut Haidar, sangat dituntut akurasi dan validitas data. Dalam mencari kevalidan data, teknik yang diambil dengan  menggabungkan antara cerita tutur dengan literatur yang sudah ada. Jika terdapat dua data yang berbeda, ia akan menggalinya dengan proses wawancara bersama dua pihak yang bersangkutan. Kemudian, dilakukan penelusuran. “Jadi seperti itu. Mumet juga sih, kalau mau mencari data yang valid,” terangnya.

Baca Juga:  Karya Wayang dan Lukisan Bagong Soebardjo Dilelang untuk Bangun Sanggar Wayang Dongeng

Guna mendukung proses wawancara, Haidar memiliki tim tersendiri. Terkait jadwal, dia lebih sering menyesuaikan waktu dari narasumbernya. “ Pernah juga, beberapa kali, kami sudah janjian, sudah hampir sampai di rumahnya, tiba-tiba dibatalkan,” keluhnya, Tapi ia tak pernah menyesali kejadian yang sudah terjadi tersebut.

Bahkan, bila si tokoh masih hidup, sebagai penulis harus mengikuti kegiatan kesehariannya. Hal itu untuk menunjang agar feel, emosi, maupun karakter si tokoh bisa didapatkan di dalam penceritaan.

Kebiasaan Saat Menulis

Berbeda dengan para penulis yang bekerja di kafe-kafe, Haidar mengaku lebih nyaman menulis di tempat yang sepi, sunyi, maupun hening. Jika berada di rumah, lebih sering menulis di ruang kerja. Termasuk salah satu alasan membangun rumah di pedesaan dengan spot persawahan di depannya ialah untuk mencari ketenangan dalam menulis.

Baginya, ide tidak bisa datang dua kali. Maka, setiap kali mendapat ide baru, sesegera mungkin dicatat sebagai pengingat. Selain itu, ia juga tidak bisa menulis dalam keadaan lelah. Badan dan pikiran harus benar-benar fit dan fresh.

Haidar termasuk tipe penulis yang tidak bisa dipaksa dalam hal menulis. Keadaan mood sangat berpengaruh terhadap produktivitas dalam menulis. Jika mood-nya baik, sekali duduk di depan laptop dalam durasi 2-3 jam, ia bisa menyelesaikan 2-3 bab. Namun, jika mood-nya tidak bagus, sehalaman pun belum tentu selesai.

Maka, dalam upaya mengembalikan suasana hati, ia kerap jalan kaki, lari, atau bersepeda mencari angin di pinggir-pinggir sawah. Kadang juga membaca buku. Meskipun tiap orang berbeda, menurut Haidar, merangkai kata itu sulit dan jika ingin hasil tulisannya bagus, harus konsisten menulis. “Ya tentu saja dengan diimbangi banyak membaca. Karena dengan banyak membaca itu akan memperkaya diksi. Dan tulisan yang kaya akan  diksi bisa dikatakan tulisan yang bagus dan berbobot,” pungkasnya sebelum mengakhiri obrolan panjang di siang hari menjelang sore.

Kejenakaan pria yang di akhir perjumpaan bersedia berfoto dengan beberapa buku karyanya, terlihat saat sedang berpose di depan kamera telepon genggam milik tim wiradesa.co. Dalam salah satu bingkai gambar yang berhasil diambil, terdapat beberapa buku biografi karyanya. KH Ahmad Dahlan, Sultan Hamengku Buwono-IX, Pak AR dan Jejak-jejak Bijaknya, Buya Hamka versi novel biografi dan biografi murni, Sogok Aku Kau Kutangkap; novel biografi Artidjo, biografi dai sekaligus pengusaha H Sunardi Syahuri, dan biografi Maya Amiarni, salah seorang direksi BPJS. (Septia Annur Rizkia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *