KEBUMEN-Memiliki perpustakaan pribadi jadi idaman bagi para pecinta buku. Dengan koleksi buku yang banyak, tertata rapi dalam rak, bisa sewaktu-waktu membaca buku. Pengetahuan bertambah, ilmu pun bertambah.
Memiliki buku lebih dari seribu, penulis asal Kebumen Sam Edy Yuswanto menata koleksinya di ruang tamu. Para tamu bisa memilih dan membaca buku di tempat. Kadang ruang tamu berubah fungsi menjadi ruang baca, ruang diskusi dan ruang ngobrol yang nyaman.
“Mengumpulkan buku sejak 2010-an. Ada yang didapat dari kerja sama dengan penerbitan buku. Dari menulis resensi dan terbit di media cetak, online, penerbit memberi kompensasi berupa buku baru untuk diresensi kembali. Kadang dibarengi dengan honor. Kadang ada yang cuma memberi buku. Satu dua buku dikumpulkan, belasan tahun mencapai ribuan buku,” ujar Sam Edy saat menerima wiradesa.co di kediamannya di Puring, Kebumen, Jumat 2 Februari 2024.
Sam Edy, sapaannya, memang dikenal sebagai penulis lepas, cerpenis, dan peresensi buku. Ia juga menulis beberapa judul buku. Diantara buku karyanya buku ‘Saya Bersyukur Saya Bahagia’ dan ‘Boleh Bersedih Tapi Jangan Berlebihan’ terbutan Quanta Elex Media Komputindo Grup Kompas Gramedia. Karya tulisan Sam Edy pun banyak mewarnai rubrikasi media cetak lokal dan nasional terutama di halaman esai sastra, resensi, cerita anak.
“Koleksi buku selain dari reward menulis resensi juga didapat dari membeli di bazar buku, belanja buku di toko online. Kadang ada toko buku online yang obral buku atau cuci gudang jadi bisa beli banyak,” jelasnya.
Dari kebiasaan meresensi dan belanja buku, mengunjungi bazar buku, Sam Edy kemudian bertaut dengan circle perbukuan. Ia berjejaring lewat media sosial. Terkadang ia ditanya orang, apakah punya judul buku tertentu yang tengah mereka cari. Saat buku yang ditanyakan dia punyai dan harga cocok, Sam Edy melepasnya. “Jalan begitu saja. Karena adanya permintaan terkadang juga sambil mencarikan buku yang dimaksud kalau di rak rumah kebetulan kosong atau tak ada. Biasanya dicarikan ke toko buku online. Asal harga cocok, berani bayar ongkos kirim, ya deal transaksi. Pernah ada yang beli buku seharga Rp 25 ribu ongkos kirim Rp 45 ribu tetapi tetap mau karena memang dia butuh,” lanjutnya.
Kini Sam Edy terbilang makin sering memasarkan beragam buku. Selain dari koleksi pribadi ia juga kulakan dari toko online lalu dijual kembali. Kalau sepi pesanan ia tinggal memotret sampul buku dan menawarkannya di beranda Facebook. Gayung bersambut. Buku yang dipajang seringkali langsung laku. Transaksi berjalan begitu saja. Harga cocok ongkos kirim cocok menjadi patokan tansaksi. Mulai buku sastra, pendidikan, ekonomi dan lainnya. Kala ada toko online yang obral buku dan cuci gudang, kesempatan bagi Sam Edy buat kulakan.
“Agar hemat ongkos kirim biasanya pengiriman disiasati sampai pemesan belanja beberapa buku hingga berat mencapai satu kilogram baru pesanan dikirim,” imbuhnya.
Para pelanggan kebanyakan para penikmat dan pembaca buku serta para pecinta buku. Tujuan pelanggan belanja diantaranya untuk melengkapi koleksi perpustakaan pribadi mereka atau karena kebutuhan untuk menunjang keahlian dan profesi seperti para guru.
Sam Edy mengisahkan jagat kepenulisan saat ini berubah tak seperti dulu. Media cetak semakin jarang yang menyediakan rubrik sastra, cerpen puisi, resensi. Tak sebagaimana satu dekade silam. Hanya media nasional yang masih menampung karya para penulis lepas. Karena itu persaingan menjadi ketat. Menyiasati hal itu, Sam Edy mengirim tulisan ke beberapa platform digital sembari rutin berjualan buku. (Sukron)