KAIN polos dapat diubah menjadi kain yang memiliki nilai seni dan nilai jual jika mampu memanfaatkan bahan-bahan alami di lingkungan sekitar. Bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah kain biasa menjadi kain bercorak diantaranya daun, bunga, kayu.
Proses membuat kain bercorak dengan bahan alami dapat dilakukan dengan memindahkan pigmen warna tumbuhan pada kain polos. Pemindahan pigmen warna tumbuhan pada kain memakai teknik ecoprint.
Ecoprint dapat dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok. Di Kebumen, ada komunitas pegiat ecoprint dari sejumlah desa yang tergabung dalam wadah Komunitas Tlutuh Luk Ulo.
Anggota Komunitas Tlutuh Luk Ulo Annisa Listiani dan Abdul Rasyid Hanafi menjelaskan, dalam teknik ecoprint, semua tumbuhan yang memiliki zat warna dapat dipakai untuk memberi corak alami pada kain.
“Zat warna pada kayu-kayuan dapat dijadikan sebagai warna dasar pada kain dengan cara merebusnya hingga air rebusan memiliki kandungan zat warna,” ucap Annisa Rabu 28 Juni 2023.
Setelah air berubah warna, kain dapat dicelupkan dan didiamkan selama beberapa hari. “Secang bisa digunakan untuk menjadi bahan rendaman warna dasar kain. Apa pun warna yang berasal dari alam dapat digunakan menjadi bahan rendaman warna kain. Contoh lainnya dari kayu nangka juga bisa digunakan,” imbuhnya.
Pada ecoprint, kain yang sudah diberi warna dasar dapat ditempelkan berbagai daun yang memiliki zat warna. Penempelan tersebut berfungsi memindahkan pola corak serta warna pigmen daun ke kain sehingga kain memiliki beragam corak sesuai dengan bentuk daun.
Rasyid yang tinggal di Desa Klirong RT 1 RW 4 Kecamatan Klirong Kebumen mengatakan, masing-masing daun memiliki corak khas Bahkan semua daun dapat digunakan untuk ecoprint. Tapi, tidak semua daun punya pigmen warna.
“Kalau daun yang tidak punya pigmen warna, zat warna daun tak bisa keluar, tapi daun tetap bisa memunculkan bayangan. Daun genitri contohnya tidak punya pigmen warna tapi menghasilkan bayangan hitam,” papar Rasyid.
Annisa menambahkan, daun yang zat warnanya diragukan harus diperlakukan secara khusus terlebih dahulu sebelum digunakan pada ecoprint. Daun tersebut harus direndam tawas atau tunjung terlebih dahulu selama beberapa saat untuk memperjelas zat warna daun.
Daun yang telah disusun dan ditempel pada kain utama akan dilapisi satu kain penutup yang nantinya akan menjadi kain bayangan. Kain kemudian diinjak-injak agar daun dapat mengeluarkan warna serta dilapisi dengan plastik. Kain yang telah siap dikukus akan digulung dan ditutup rapat dengan lapisan plastik untuk mencegah uap air kukusan masuk ke kain. Setelahnya, kain akan memiliki corak dan dapat digunakan setelah kering dan dicuci.
Kain hasil ecoprint dapat digunakan untuk membuat tas, topi, kemeja, sarung, jilbab dan produk lain. Hingga saat ini, Annisa dan Rasyid sudah memasarkan kain ecoprint buatannya ke berbagai daerah di Kebumen. Bahkan mereka juga sudah memasarkan hasil ecoprint melalui berbagai media sosial yang dimiliki. Namun, mereka mengaku belum berani menjual di berbagai marketplace online.
Sebab, dalam ecoprint corak dan warna daun yang dihasilkan akan berbeda-beda. Satu jenis daun yang digunakan bahkan dapat menghasilkan warna dan corak yang berbeda.
“Kalau menjual di marketplace itu susah. Soalnya kalau kita bikin katalog takutnya pembeli nantinya protes. Ini kok hasilnya tidak sesuai dengan yang di gambar. Kok yang dikirim berbeda. Padahal ecoprint kan tidak bisa sama semua hasilnya. Jadi kalau misal ada yang pesan, tidak bisa pesan secara rinci mau corak yang seperti apa. Karena hasilnya nanti akan berbeda-beda,” tutur Rasyid.
Ecoprint itu kaya kejutan soalnya warna yang keluar tidak pasti, warnanya akan berbeda-beda. Jadi sebenarnya pembeli tidak bisa request mau seperti apa karena warna yang keluar antara satu daun dengan daun lainnya belum tentu sama.
“Jadi kami tidak bisa berekspektasi,” sambung Annisa sembari menambahkan, beberapa brand ecoprint yang aktif di Kebumen misalnya Kind Mode, Nyi Kenzy, Trijandini, Madewi, Canting kuning, Ghuppy, Hurry, Djatoe. (Asy Syifa Salsabila)