KULONPROGO – Langkah kaki Mbah Mardi (71) memang tak lagi segesit dulu. Tetapi bagi orang seumuran dirinya, menyusuri sejumlah tempat di kota Wates dengan jalan kaki bukan pekerjaan ringan. Apalagi ditambah beban menggendong tenggok berisi dagangan pecel bumbu kacang sementara tangannya masih menjinjing tas berisi lontong. Siang itu, Sabtu 14 Mei 2022 menjelang tengah hari dagangannya telah banyak berkurang lantaran diborong pelanggan di salah satu perkantoran.
“Tadi banyak diborong pelanggan. Biasa begitu. Ada yang ulang tahun, ada yang mentraktir teman-teman sekantor, makan lontong pecel ramai-ramai seperti tadi,” kata Mbah Mardi kepada wiradesa.co yang ketemu di Jalan Jogoyudan, Wates.
Mbah Mardi jualan lontong pecel bukan baru-baru ini saja namun ia mengaku telah jualan selama 50 tahun. Cukup lama mangkal di depan Stasiun Wates, melayani para pelanggan penumpang kereta api, tukang becak, tukang ojek, pedagang buah yang zaman dulu banyak berdagang di kios-kios di sekitar stasiun. “Beberapa tahun belakangan memang tak lagi jualan di stasiun. Jualannya ganti keliling jalan kaki mengunjungi pelanggan warga Wates. Di perkantoran, para pegawai banyak yang langganan juga para pedagang di Pasar Wates,” ucap Mbah Mardi warga Terbah, Pengasih.
Sebagai pedagang pecel legendaris, para pelanggan menyapanya Mbah Mardi Pecel. Sayuran kecipir, kembang turi, kenikir, bayam sudah direbus matang ditaruh dalam wadah ditata bersama sambal pecel padat di tenggok. Ketika ada pelanggan memanggil dan memesan, dengan cekatan dia menurunkan tenggok dari punggung rentanya. Racikan sayuran yang telah direbus disajikan bersama irisan lontong yang disiapkan di atas pincuk. Begitu pula sambal kacang bumbu pecel ia aduk dadakan pakai air matang lalu diguyurkan pada sayuran dan lontong. Tak sampai tiga menit, seporsi lontong pecel sudah siap santap.
“Satu porsi lontong pecel Rp 5 ribu. Lauknya ada gorengan. Makannya pakai pincuk daun pisang lapis kertas minyak,” ujarnya.
Tri Sukemi, warga Jogoyudan Wates mengaku sebagai salah satu pelanggan lontong pecel Mbah Mardi. Ia sampai lupa sejak kapan beli pecel ke Mbah Mardi karena saking lamanya jadi pelanggan. “Ingatnya sejak masih di depan stasiun sampai sekarang kalau Mbah Mardi lewat pasti beli untuk makan siang khususnya. Kadang kalau di jalur yang dilewati sebelumnya sudah laris sampai sini suka telat,” ucap Tri Sukemi.
Tri Sukemi tergerak membeli pecel dan menjadi pelanggan Mbah Mardi karena melihat semangat dan kegigihan Mbah Mardi yang berjuang tak kenal lelah pada usia senja. “Pecelnya murah, termasuk makanan sehat, banyak sayuran hijau. Sebagai penjual yang gigih, Mbah Mardi sangat layak diapresiasi dengan cara kita nglarisi dagangannya,” ujarnya. (Sukron)