YOGYAKARTA – Menjaga Jogja tetap ayem tentrem menjadi tanggung jawab semua warga masyarakat. Setiap individu berkewajiban saling menjaga dan menghormati keberadaan sesamanya sehingga tercipta keharmonisan sosial. Jika terjadi sebaliknya, ada individu maupun kelompok-kelompok yang sengaja menegasi dan bahkan memaksakan agregasi kepentingannya secara frontal, maka di situlah terjadi anarki.
Beberapa kali terjadi anarki sosial di Yogyakarta. Peristiwa demonstrasi yang berujung rusuh di Malioboro pada Kamis (8/9/2020) lalu menjadi peristiwa paling aktual. Gedung DPRD DIY, fasilitas polisi, bahkan tidak sedikit pedagang kaki lima terkena imbasnya.
“Yang membuat kemarahan warga adalah pembakaran restoran Legian di Malioboro. Peristiwa pembakaran ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah panjang Yogyakarta,” kata Ketua Paguyuban Bregada Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta (BR DIY), Nur Sukiyo, dalam Gelar Siyaga Hangrekso Tentreming Praja di DPRD DIY, Minggu (11/10/2020).
Nur Sukiyo mengatakan bahwa dibutuhkan komitmen besar untuk saling menghormati dan menjaga kedamaian dan ketenteraman. Yogyakarta menjadi istimewa salah satunya tercipta karena bekas wilayah kerajaan yang kaya akan warisan budaya leluhur.
Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono l (1717-1792) yang mendirikan Yogyakarta mencetuskan konsep Watak Satriya yakni Nyawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh. “Sengguh adalah konsentrasi total, greget adalah semangat jiwa, dan sengguh merupakan percaya diri. Sedangkan ora mingguh adalah penuh tanggung jawab,” jelasnya.
Konsep-konsep luhur ini menjadi prinsip bagi seluruh masyarakat. Apalagi Sri Sultan Hamengku Buwono l merumuskan falsafah Hamemayu Hayuning Bawono yaitu menjaga kelestarian dan keharmonisan alam. Suatu falsafah yang diharapkan menjadi pedoman karakter bagi seluruh lapisan masyarakat. “Dengan dasar tersebut masyarakat dapat menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan nilai-nilai Pancasila,” imbuh Nur Sukiyo.
Perilaku-perilaku anarkis dan memaksakan kehendak individu maupun kelompoknya sendiri dengan menegasikan hak-hak masyarakat sipil lain merupakan cerminan jiwa yang bertolak belakang dari Watak Satriya. Dengan demikian, Paguyuban BRD DIY menggelar Apel Siaga Yogya Damai dengan tujuan untuk mengajak masyarakat tunduk pada konsensus Nasional Pancasila. Selain itu, masyarakat secara bersama-sama menjaga semua sikap dan perilaku sesuai norma sosial dan hukum yang berlaku.
Paguyuban BRD DIY menghadirkan perwakilan anggota sebanyak 100 personil dengan berbusana khas seni keprajuritan rakyat se-DIY. Bregada yang berpartisipasi sebanyak 36 kelompok, seperti Bregada Panji Parentah, Gagak Rimang, Kyai Morang, Ponco Manunggal Sokawanengyudha, Singa Dahana, Gadung Melati, Pakoewodjo, Rangsang Manggala, Pasembaja, Kyai Pancas, Sura Utama.
Selain itu, ada Ki Demang Gendol, Purbadiningrat, Nitimanggala, Paksikaton Bantul, Condrosasi Wiratama, Puspitosari, Danukusuman, Puro Loyo Imogiri, Winata Manggala, PJ2 Dipowinatan, Wiro Tamtomo, Noto Yudho, Langensari, Kyai Jurug, Lombok Abang, Kalinyamat, Dandang Rekso, Wirorejo, Mantri Manggolo, Bergada Jemparing Langenastro, Randu Alas, Bausosro Sawiji Lestari, Sarogo Manggolo, Banguntopo, dan Wirosobo.
“Pada momentum ini kami menggunakan pakaian khas seni keprajuritan, tetapi kami di sini bukan untuk berperang. Kami menolak keras aksi anarkis, sehingga para pelaku anarkis di DIY harus diusut secara tuntas dan transparan,” tegas Nur Sukiyo.
Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kedamaian. Melestarikan kerukunan dan keguyuban tanpa memandang suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Seluruh elemen masyarakat bertanggung jawab menjaga dan merawat nilai-nilai tersebut untuk kenyamanan warga DIY khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. (Ilyas Mahpu)