Ngobrol Santai Bareng Ahmad Tohari di Srotong Banyumasan Pritgantilan

 Ngobrol Santai Bareng Ahmad Tohari di Srotong Banyumasan Pritgantilan

Sastrawan Ahmad Tohari berada di halaman belakang rumah yang rindang dengan pepohonan (Foto: Sukron/Wiradesa)

BANYUMAS – Teras bagian depan rumah dengan kursi-kursi lawas, didominasi warna coklat tua jadi salah satu tempat sastrawan dan budayawan Banyumas Ahmad Tohari menerima para tamu. Penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu juga masih punya satu bangunan rumah lagi berada di samping belakang rumah tinggalnya. Rumah model srotong banyumasan khusus untuk menerima kunjungan tamu yang ingin ngobrol lebih lama, ia sebut Gubuk Carablaka ‘Rumah Budaya’.

“Mau ngobrol santai apa sekaligus wawancara?” tanya Tohari kepada wiradesa.co yang bertamu ke kediamannya di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Sabtu, 6 Maret 2021. Tohari kemudian mengajak pindah duduk ke rumah belakang. Rumah model srotong rangka kayu jati, dibangun sebagian pakai dinding tembok, sebagian lagi memakai material kayu dan bambu. Sirkulasi udara lewat sejumlah jendela dibiarkan terbuka sehingga tanpa pendingin ruangan pun hawa di dalam sudah terasa sejuk.

“Di sini lebih nyaman untuk ngobrol berlama-lama. Tak terganggu suara bising kendaraan,” tutur Tohari sembari mempersilakan mencicipi minuman kopi dan kue brownies coklat yang tersuguh di meja bundar. Di ruang berinterior artistik dengan furnitur kuna, risban panjang, meja panjang, beberapa lukisan dan foto-foto tampak menghiasi dinding. Panggung kecil tersedia pada bagian pojok ruangan, diperuntukkan bagi seniman-sastrawan yang hendak memakai ruang untuk berkumpul sembari baca puisi.

“Rumah ini adalah rumah budaya. Sering dipakai pertemuan sastrawan, seniman lokal Banyumas,” ujarnya. Srotong banyumasan, dalam catatan Tohari, ada dua jenis. Srotong yang punya emper atau kanopi depan seperti miliknya disebut Pritgantilan sedangkan srotong tanpa emper depan disebut Randa Cincing.

Bagian dalam rumah srotong banyumasan Pritgantilan milik Ahmad Tohari tempat ia biasa menerima para tamu (Foto: Sukron/Wiradesa)

Dua istilah srotong terlahir ratusan tahun lalu namun semenjak 1970-an, istilah dan model bangunan tersebut makin tergilas, hilang dari kosakata masyarakat Banyumas. Bahkan sekarang tak banyak lagi yang tahu perihal dua jenis bangunan lawas khas banyumasan.

Baca Juga:  Bakti Sosial SMSI Bikin Warga Tersenyum

“Terjadi perubahan kemakmuran setelah Pak Harto (mantan Presiden Soeharto) membuka masuknya modal asing. Di Jatilawang dibangun sarana irigasi, petani panen dua kali setahun. Hasilnya luar biasa. Petani mampu bikin rumah bagus-bagus,” jelas Tohari sembari menambahkan, bangunan rumah kebanyakan kian mentereng tatkala banyak anak muda yang pergi kerja ke luar kota dan luar negeri. Banyak model rumah seperti di Gumelar arsitekturnya bikin terbengong, di pedesaan ada arsitektur rumah gaya Eropa.

Menempati lahan 2000 meter, Tohari mengaku banyak tinggal di rumah di samping sekali waktu ngantor di Redaksi Majalah Ancas di Purwokerto. Di samping dua bangunan rumah, Tohari membangun Gedung Taman Kanak-kanak berada di samping rumah inti, terpisah jalan akses masuk ke bangunan Musala Al Hidayah di sisi belakang. Musala terpaksa ditambah atap kanopi pada bagian sayap kiri lantaran jamaah salat Jumat selalu meluber dan kehabisan saf ketika salat Jumat.

Dari bagian depan, samping, di tepian kiri kanan setiap banguan, ditumbuhi aneka pohon, tanaman langka dan tanaman hias. Tohari mengatakan, dirinya sangat sadar lingkungan sehingga banyak pohon dan tanaman sengaja dirawat. Dengan banyak tanaman di sekitar rumah, Tohari selalu terkenang masa kecil selalu bermain berlarian di bawah pohon-pohon yang tumbuh lebat.

“Mungkin banyak yang lupa. Pohon yang hijau rimbun merupakan pabrik oksigen yang kita perlukan,” ucapnya. Sedangkan urusan desain rumah, beberapa orang diakui turut berkontribusi menyumbangkan rancangan. Termasuk dari sang anak yang punya titel doktor teknik sipil lulusan Jepang ahli konstruksi baja yang nyambung dengan konstruksi bambu. Masukan juga datang dari keponakan seorang ahli konstruksi rumah adat.

Halaman rumah utama Ahmad Tohari, ditumbuhi tanaman hijau royo-royo (Foto: Sukron/Wiradesa)

Menyambung suasana sekitar rumah yang hijau royo-royo, tanah luas di luar areal rumah di bagian belakang, sengaja dihutankan. Ditumbuhi pohon-pohon tinggi. “Banyak pohon yang sudah jarang ditanam. Misalnya rukem, kepel, mundu, nagasari, manggis dan duku,” ucap Tohari yang masih produktif menulis cerita pendek pada usia 73 tahun saat ini. Bahkan pada 2019 salah satu cerpennya berjudul ‘Mereka Mengeja Larangan Mengemis’ masuk sebagai cerpen terbaik Kompas. (Sukron Makmun)

Redaksi

Mandirikan Desa Sejahterakan Rakyat

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar

%d blogger menyukai ini: