Kolom  

PMK Vs Mereka

 

Oleh: Dwi Purwoko

TIGA bulan menjadi anak rantau membuat saya menjadi berjarak dengan kehidupan yang sebelumnya. Pribumi, Jowo tulen dan tidak pernah pergi jauh dengan rentang waktu yang lama. Mungkin julukan yang tepat bagi saya adalah “tunggu beruk”; istilah dalam permainan petak umpet, ketika pemain yang bertugas mencari kawannya yang bersembunyi hanya memilih diam dan menunggu di pos tersebut.

Menjalani kehidupan di tanah Sunda tidaklah jauh berbeda dengan kampung halaman, Kampung Panaruban Cicadas Subang Jawa Barat dan Desa Saya, Ngrawan Getasan Semarang Jawa Tengah relatif sama. Panaruban dan Ngrawan sama-sama terletak di dataran tinggi, mayoritas warga adalah berternak dan bertani.

Yang membuat berbeda saat ini adalah PMK, Penyakit Mulut dan Kuku. Kebanyakan menyerang pada hewan ternak, yaitu sapi. Karena di Panaruban tidak bersentuhan langsung dengan petani dan peternak, saya tidak menemukan kasus tersebut. Namun, beda sisi dengan kabar soal PMK di Ngrawan, hampir semua sapi-sapi warga terkena virus tersebut. Penularannya giliran, dari rumah ke rumah yang lain. Keadaan ini hanya bisa memantau lewat cerita teman-teman Omah Cikal via chat whatsapp dan sesekali mengobrol di telepon.

Baca Juga:  Tajug Jaya Wakili Kebumen Pada Lomba KTT Berprestasi Tingkat Jateng

Sapi yang terinfeksi PMK daya tahan tubuhnya turun drastis, mulut luka-luka dan mengeluarkan cairan, begitu juga dengan kuku kakinya. Itu mengakibatkan tidak bisa makan atau minum dan kesulitan untuk berdiri. Hal itu mengharuskan para pemilik ternak merawatnya ekstra keras. Harus ndulang/nyuapin sapi agar mau makan, merendam kuku sapi dengan air hangat campur garam dan selalu menjaga kebersihan kandang.

Bagi warga desa, ini lebih pagebluk dibanding pandemi covid kemarin, PMK langsung menyerang ke sumber penghasilannya. Hewan-hewan ternak sudah dianggap menjadi bagian dari keluarganya. Malah kadang lebih penting dari kehidupannya sendiri. Ambil rumput sambil hujan-hujan demi makanan sapinya, menunda segala urusan demi jadwal memerah sapi, rela tidak tidur saat sapinya melahirkan.

Saat ini bagian dari keluarganya sedang sakit, otomotis bagian yang lain juga merasakannya. Segala cara diupayakan agar sapinya selamat. Naas sapi yang tidak kuat harus meregang nyawa karena virus PMK. Banyak juga yang harus dijual dengan harga sekadarnya. Sebelum PMK sapi ditawar Rp 20 juta, setelah sakit dan tidak bisa berdiri hanya laku Rp 5 juta. Jelas ini adalah kerugian yang sangat besar bagi para peternak di desa. Berternak sapi adalah celengan yang sewaktu-waktu bisa dibuka untuk segala kebutuhan keluarga; anak masuk sekolah, membeli sepeda motor, hajatan keluarga, khitanan, nikahan dan banyak lagi.

Baca Juga:  Desa Mandiri Budaya

Berternak jauh lebih bisa diandalkan dari pada hasil pertanian yang harganya naik turun tak menentu. Sapi potong dan sapi perah jelas soal harga jualnya. Dan isu ini mungkin kurang menarik untuk menjadi perhatian nasional. Memang tak seluas covid-19 dan juga hanya di lingkup kecil desa-desa. Sudah sewajarnya kalau negara tak begitu menggubrisnya.

Upaya vaksinasi untuk hewan ternak hanya terkesan sebagai ‘pahlawan kesiangan’. Sudah terlanjur banyak sapi yang mati dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi warga desa. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *