POLITIK lokal dan kualitas demokrasi di Madura tergolong rendah dan lemah. Dapat dilihat dari enam elemen meliputi pelaksanaan Pilkada, otoritas partai politik lokal, kegiatan masyarakat sipil, kebebasan media, pelayanan pengaduan masyarakat, dan pertemuan-pertemuan publik.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wiraraja Madura, Wilda Rasaili SIP MA, pelaksanaan Pilkada di Madura wilayah barat (Bangkalan dan Sampang) cenderung konfliktual, politik intimidasi, politisasi birokrasi, dan klientilistik tinggi oleh aktor tertentu. Sedangkan Madura wilayah timur (Sumenep dan Pamekasan) lebih dinamis, akan tetapi fenomena money politik tak terhindarkan dan melibatkan semua pihak.
“Kekuatan elite lokal seperti, kiai, blater, dan elite politik menutup kesadaran partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan rapat umum. Partai politik lokal lebih banyak dikuasai elite yang memiliki konsolidasi kekuatan terhadap elite pusat,” ungkap Wilda Rasaili SIP MA dalam Sidang Terbuka Disertasi Program Studi Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Kamis 7 Juli 2022.
Dengan disertasi bertajuk “Konvergensi Politik Lokal Pada Implementasi Kebijakan SDGs Bidang Pendidikan Berkualitas di Madura”, Wilda Rasaili memaparkan bahwa peran media massa berimplikasi pada perusahaan media. Sementara kontrol media massa terhadap kebijakan dan birokrasi daerah serta untuk kepentingan publik tergolong lemah.
Pertemuan publik dalam hal ini Musrenbang-Des berjalan kurang efektif. Keterlibatan masyarakat cukup rendah, dan terlaksana hanya sebagai formalitas dan ritual birokrasi. Rencana dan kebijakan lebih pada kehendak birokrasi, bukan merupakan aspirasi publik.
Kondisi politik lokal dan kualitas demokrasi yang lemah ini mempengaruhi kinerja kebijakan dan implementasi kebijakan terhadap mutu kualitas pendidikan berkelanjutan. Kebijakan pendidikan di Madura tidak mencerminkan kepentingan masyarakat umum.
“Dalam konteks rencana aksi SDGs di bidang pendidikan berkualitas, pemerintah kurang agresif. Rendahnya lama belajar di sekolah, tingginya angka buta huruf, minimnya SLB dan tidak adanya inovasi pembelajaran tentang HAM dan perdamaian menjadi bukti lemahnya pemerintah dalam merespons dan menyukseskan agenda SDGs 2030,” kata pemuda kelahiran 1987 itu. (Ilyasi)