Tiga Tahun ‘Menghilang’ Mbah Gito Membangun Karya Spektakuler Joglo Tri Yaksa

Wiradesa.co- Bangunan nyentrik makin lekat dengan sosok Mbah Gito. Warung bakmi Jawa miliknya di Jalan Nyi Ageng Nis Rejowinangun, Kotagede tak cuma menjual kelezatan kuliner bakmi Jawa tapi juga menjual keunikan tempat. Eksterior tampak biasa, bahkan terkesan kurang rapi. Pemilik nama asli Sugito tak menampik hal itu. Ia bahkan menamai warung bakmi Jawa kondangnya dengan sebutan ‘Gubuk Reyot Mbah Gito.’

“Bangunan memang dari material bekas. Tiang-tiang penyangga belandar ada yang bekas tiang kandang sapi. Tapi tidak semua. Tiang lain kayunya dibuat sebagaimana batang pohon, hanya dibuang kulitnya. Dikondisikan agar awet tak bubuken,” ujar Mbah Gito beberapa tahun lalu saat menceritakan bangunan warung.


Perkakas tak biasa sebagai penghias dekorasi rumah dipasang Mbah Gito pada dinding warung. Alat-alat pertanian, sabit, ani-ani, caping, hingga garu untuk membajak sawah terpajang. Juga lesung beserta alu ikut melengkapi properti rumah. “Saya asli dari ndesa. Semua peralatan itu bagian dari sejarah hidup saya yang anak orang tani. Sengaja dipajang biar anak-anak sekarang tahu, tidak hanya dengar cerita ada alat namanya garu, lesung dan sebagainya,” imbuh Mbah Gito yang selalu mengenakan iket di warungnya.


Tiga tahun belakangan Mbah Gito seolah ‘menghilang’ dari hiruk-pikuk warung bakmi. Tiap kali dihubungi lelaki bersahaja kelahiran 1950 selalu menjawab, bahwa dia lagi berada di desa, di tanah kelahirannya di Gunungkidul. Sebagai sosok pengagum budaya Jawa, ternyata Mbah Gito tak sedang bersantai menikmati hari tua di kampung halaman. Mbah Gito tengah menyelesaikan Kompleks Joglo Tri Yaksa. Bangunan tradisional namun megah dan spektakuler. Dibangun Mbah Gito dalam waktu tiga tahun terakhir.

Baca Juga:  Tumpengan Puisi Refleksi 19 Tahun SRMB


“Disebut Joglo Tri Yaksa sebab ada tiga joglo berukuran besar. Joglo Jawa ndesa dan pakem ya seperti ini. Ada lintring, joglo limasan, sebelah terdapat gandok,” ujar Mbah Gito mengawali perbincangan seputar Joglo Tri Yaksa yang belum rampung ia garap, baru sekitar 70 persen proses pembangunan. Menempati lahan pribadi seluas 9500 meter, Joglo Tri Yaksa bagian paling muka disebut Mbah Gito punya lintring yang fungsi paling utama pada umumnya rumah joglo Jawa ialah sebagai tempat menyambut tamu. Tapi tamu yang hanya datang sebentar. Pada joglo limasan diperuntukkan bagi tamu khusus keluarga.


Spektakuler!. Mungkin kata itu paling tepat diucapkan buat mengomentari kompleks Joglo Tri Yaksa karya Mbah Gito. Kompleks lintring, joglo limasan, gandok yang disejajarkan berderet punya luas 80 x 70 meter. Bangunan yang semua terbuat dari entah berapa puluh bahkan berapa ratus tiang kayu itu masih dilengkapi tempat pagelaran Sasono Seni Budaya Ndesanya Mbah Gito, disediakan tempat buat wayangan, pentas tari, karawitan, lengkap dengan perangkat gamelan beserta sound sistem.
Bagian sayap, bangunan terpisah berderet musala, tempat makan prasmanan dan pawon. Sementara di belakang terdapat delapan unit rumah joglo lawasan beserta satu joglo paling besar yang semuanya tersusun dari kayu jati. Bangunan Joglo Tri Yaksa menurut Mbah Gito akan dia fungsikan sebagai tempat wisata kuliner Jawa ndesa, digunakan pula sebagai tempat belajar dan mengenal seni dan budaya Jawa. Tak mengherankan, Mbah Gito mengumpulkan bahkan mengundang guru seni untuk mengajari puluhan pemuda dan pemudi di desanya di Karanglor Bejiharjo Karangmojo, Gunungkidul untuk belajar karawitan, wayang kulit, tari.

Baca Juga:  Hujan Deras Disertai Angin Kencang, Ratusan Rumah di Gunungkidul Rusak Sedang Hingga Berat

Kesabaran dan Niat yang dilaksanakan.

Mbah Gito mengakui, banyak orang yang telah berkunjung menyebut dia ‘edan’. Bila tidak ‘edan’ joglo raksasa sespektakuler itu mana mungkin terbangun. Apalagi lanjut Mbah Gito, seluruh peralatan pertukangan yang dipakai 30 orang tenaga yang terlibat berupa alat manual. Untuk mendirikan tiang-tiang kokoh dan besar dari kayu munggur dibantu alat derek berkekuatan 5 ton . “Dari 5 derek, 4 derek ambrol,” tutur Mbah Gito.
Dikatakan Mbah Gito, meski dia tak mengenyam pendidikan arsitektur ataupun teknik sipil, ia telah berhitung matang perihal kekuatan Joglo Tri Yaksa. Sambungan belandar dengan tiang maupun sambungan antarkayu pokok dikuatkan dengan kili sebagai pantek, ditambah baut danyang. Sementara bagian umpak terhubung dengan pondasi cor dan cakar ayam serta pangkal tiang semua terkunci dengan bagian umpak terhubung besi pondasi. Dihitung Mbah Gito, dengan konstruksi yang ada, diharapkan keseluruhan bangunan kuat terhadap guncangan gempa setidaknya hingga gempa 7,5 SR.


“Sampai saat ini berapa biaya untuk ini semua tak pernah berhitung. Yang terpikir, bagaimana agar kelak bermanfaat bagi anak cucu,” terang Mbah Gito yang mengaku dalam membangun tak pernah membuat denah atau gambar teknis. Dia hanya mengikuti intuisi, menyesuaikan material kayu yang ada pasnya dipasang di mana sebagai apa hingga pada akhirnya tersusun menjadi Joglo Tri Yaksa. “Modalnya kesabaran dan niat yang dilaksanakan,” imbuhnya.

Baca Juga:  Jagongan Budaya #2: Mengulik Sejarah Sanggar Kesenian Krido Budi Utomo


Akhir tahun ini, Mbah Gito berharap, Joglo Tri Yaksa sudah dapat difungsikan untuk melayani wisatawan. Percobaan buka dengan sejumlah juru masak dan bila keadaan sudah aman dan mendukung diperkirakan Joglo Tri Yaksa menyerap 150 tenaga juru masak beserta pelayan bagi 2000 hingga 5000 tamu. (Sukron)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *