Maraknya kasus perjudian di masyarakat telah menjadi permasalahan yang tak pernah selesai sejak bertahun-tahun lamanya. Dewasa ini, praktik perjudian makin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat jumlah transaksi judi online mencapai sebesar Rp327 triliun pada akhir tahun 2023. Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring juga mencatat sebanyak 2,37 juta orang terjebak judi online, yang 80 persennya merupakan kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Tidak hanya sampai disitu, perjudian online juga terjadi di kalangan mahasiswa. Pasalnya, hingga saat ini, sejumlah 960.000 pelajar dan mahasiswa terlibat kasus judi online. Dari banyaknya pengguna judi online di Indonesia, sebesar 60% dari angka tersebut adalah generasi Milenial dan generasi Z. Studi membuktikan bahwa 82% orang yang mengakses internet pernah melihat iklan judi online. Dari banyaknya sosial media yang eksis, Instagram dan Facebook menempati urutan teratas media sosial dengan iklan judi online terbanyak. Selain itu, situs film ilegal dan game online menjadi ladang subur pengguna judi online.
Merespons fenomena judi online, Pengamat Investasi, Keuangan, dan Perbankan sekaligus akademisi Program Studi Manajemen, I Wayan Nuka Lantara, Ph.D., menuturkan faktor utama penyebab maraknya perjudian online di kalangan generasi muda disebabkan oleh teknologi dan kemudahan akses. Terlebih lagi, kemudahan pembayaran makin menarik mahasiswa untuk menyetorkan uang deposit secara terus menerus. Lingkungan yang permisif seolah-olah mewajarkan tindakan perjudian yang dilarang oleh negara. “Judol (judi online) ini banyak digemari karena modalnya kecil, tapi untungnya berlipat,” ujar Wayan, Senin (15/11) dalam bincang pakar di ruang Humas FEB UGM.
Menurut Wayan, judi online terbukti mengakibatkan efek negatif, baik dari sisi ekonomi, psikologis, sosial, dan kesehatan. Wayan mengungkapkan bahwa terdapat istilah gambling disorder. Efek ini muncul ketika seseorang menghadapi kekalahan berkali-kali, tetapi masih tetap menyetorkan uangnya untuk judi dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. “Diibaratkan menggali sebuah lubang, makin dia menggali, lubang itu akan makin dalam dan dia akan terjebak di dalamnya,” ungkap Wayan.
Bahkan, di Jerman, biaya rehabilitasi korban judi lebih besar daripada transaksi itu sendiri. Tingkat kriminalitas akan meningkat apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus. Kemungkinan terburuk dari maraknya judi online adalah resesi yang disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh misalokasi anggaran rumah tangga untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti judi online.
Besarnya angka pengguna judi online dan nominal transaksi dinilai merugikan negara. Dalam kasus ini, negara kehilangan opportunity cost sejumlah uang yang diputarkan untuk judi online. Dengan data yang sudah disebutkan di atas, negara merugi sebesar 327 triliun rupiah karena uang tersebut dapat masuk ke alokasi dana lain yang bersifat menguntungkan. “Harapannya ada kesadaran dari pemerintah untuk menghentikan judi online ini, karena itu sangat merugikan,” tutur Wayan.
Sebagai dosen, Wayan menyarankan adanya forum khusus pencegahan judi online di lingkungan akademik untuk membangun kesadaran mahasiswa tentang bahaya judi online. Selain itu, edukasi pengelolaan keuangan juga penting dilakukan agar mahasiswa mampu mengelola uang sesuai kondisi finansial dan terhindar dari misalokasi anggaran. (*)