YOGYAKARTA – Pandemi Covid-19 menjadi tantangan dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Pemerintah hingga saat ini bersikukuh akan melangsungkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020 meskipun terjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Hasil Analisa Big Data Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa warga banyak yang tidak menyetujui atas rancangan pemerintah dalam menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi.
Penundaan Pilkada 2020 yang akan diselenggarakan 270 daerah (8 Pilgub, 224 kabupaten, dan 37 kota di 32 provinsi) ini mendapatkan media coverage yang cukup besar, baik di media online, maupun di media sosial Twitter.
“Dalam rentang waktu tujuh bulan pengambilan data, 1 Maret hingga 30 September 2020 tercatat ada sebanyak 3.746 artikel dari 155 portal media dan 52.734 twit yang memperbincangkan soal penundaan Pilkada 2020,” kata Ketua Tim Peneliti PolGov dan Big Data Analytics Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Mada Sukmajati di Yogyakarta, Selasa (13/10/2020).
Mada Sukmajati mengatakan bahwa terdapat dua puncak dalam pemberitaan di media online tentang penundaan Pilkada 2020. Dua puncak itu terjadi pada 31 Maret 2020 yakni pasca kesepakatan penundaan Pilkada 2020 dan 21 September 2020 pasca Muhammadiyah dan NU memberikan pernyataan resmi untuk tidak melaksanakan Pilkada di masa pandemi. Sedangkan puncak perbincangan di media sosial Twitter terjadi pada 21 September 2020.
Masyarakat belum sepenuhnya yakin dengan rancangan pemerintah dalam penyelenggara Pilkada di tengah pandemi. Untuk itu, penyelenggara pemilu perlu melakukan upaya-upaya yang berkesinambungan agar masyarakat meyakini bahwa mereka telah mendesain setiap tahapan Pilkada dengan baik sehingga meminimalisir angka pertumbuhan kasus Covid-19 akibat dari pelaksanaan Pilkada 2020.
Muhammadiyah dan NU menjadi dua institusi non negara yang memiliki pengaruh signifikan dalam pemberitaan media tentang penundaan Pilkada 2020 di tengah pandemi. Rekomendasi dari kedua ormas tersebut telah mendapatkan respons publik yang besar di media sosial.
“Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu mengapresiasi hal ini dan terus menjalankan komunikasi serta kolaborasi dengan kedua organisasi tersebut sebagai upaya untuk mempersiapkan setiap tahapan dengan mengedepankan pelaksanaan protokol kesehatan,” ujar Mada Sukmajati.
Pemberitaan tentang penundaan Pilkada 2020 paling banyak dikaitkan dengan isu kesehatan. Kemudian disusul isu hukum, politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian, isu kesehatan merupakan isu yang paling banyak dipertimbangkan terkait Pilkada 2020 di tengah pandemi.
Sedangkan pada sisi yang lain, lanjut Mada, pertimbangan yang digunakan pemerintah adalah aspek kesehatan dan stabilitas politik dalam negeri. Bahkan di beberapa kesempatan, pemerintah menyampaikan pertimbangan ekonomi.
Data media sosial Twitter menunjukkan bahwa keresahan warganet atas Pilkada 2020 tidak lain karena pertimbangan keselamatan rakyat, nyawa, kemanusiaan, dan dampak dari pandemi Covid-19. “Di puncak perbincangan, terlihat topik ini kemudian mengalami perluasan sehingga terkait dengan isu-isu yang lain, yakni Omnibus Law dan oligarki,” pungkasnya. (Ilyas Mahpu)