YOGYAKARTA – Lahir dan besar di pedesaan kaki Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur, Apia Dewi Agustin, 22 tahun, tidak menyangka jika ia tidak lama lagi akan menyelesaikan kuliahnya di prodi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. “Sekarang sedang di penghujung semester 8. Bentar lagi lulus,” kata Dewi sedikit sumringah, Senin 11 Juli 2022.
Orang tua Dewi bekerja petani sayur. Ibunya juga berjualan di rumah. Meski merasa senang namun ia sedikit sedih karena ayahnya sudah berpulang satu tahun lalu. Hanya sang ibu yang terus menyemangatinya untuk terus menyelesaikan kuliahnya.
“Ibu pedagang toko kelontong sederhana di depan rumah. Rumahku di pedesaan. Rata-rata penghasilan mungkin sekarang sekitar Rp1 jutaan, efek pandemi juga sih. Ayahku meninggal di tahun 2021 kemarin. Tapi sakitnya sudah lama, semenjak aku masuk kuliah udah jatuh sakit,” katanya.
Dewi merasa beruntung, ketika masuk di UGM empat tahun lalu, ia tidak mendaftar beasiswa bidikmisi saat pendaftaran. Namun, karena ia masuk dalam kelompok UKT 2 sehingga pada semester satu diikutkan pada beasiswa bidikmisi. “Dulu dapat rekomendasi bidikmisi gitu dari Ditmawa (Direktorat Kemahasiswaan) di awal semester 1. Jadi nggak ngajuin sedari awal kuliah gitu. Mungkin karena dulu aku tergolong UKT 2 ya, jadi terekomendasi bidikmisi juga,” kata bungsu dari dua bersaudara.
Pilihannya pada prodi Akuntansi menurut Dewi sudah dimulai sejak duduk di bangku SMP. Kebetulan di SMA ia sudah masuk kelas IPS dengan guru pengampu pelajaran ekonomi yang sama selama tiga tahun berturut-turut. “Guru ekonomiku selama 3 tahun di SMA tuh sama. Sangat inspiratif dan favorit banget. Ngarahin aku untuk ikut lomba, OSN, ikut pembinaan dan sebagainya. Jadi banyak interaksi dan lebih intensif dibanding sama mapel lain selama SMA,” kekangnya.
Tidak hanya itu, kata Dewi, saat menjelang lulus nilai ujian nasional untuk ekonomi termasuk tertinggi di kabupaten Magetan. Bahkan tercatat nilai tertinggi di almamater. “Jadi secara nggak langsung tersugesti dan termotivasi juga ya. Kemudian, dari lingkungan keluarga sendiri. Kakakku juga lulusan akuntansi. Jadi sedikit banyak dapat amunisi,” katanya.
Saat awal kuliah di UGM, Dewi mengaku sempat merasa belum percaya diri dengan dirinya karena merasa teman-temannya yang berasal dari daerah lain yang lebih pintar darinya. “Terlebih aku dari desa ya. Dulu, banyak rasa minder dan insecure ketemu sama teman-teman yang keren-keren. Dan aku juga sendirian, gada temen 1 SMA yang seangkatan di FEB. Jadi mulai dari nol banget buat teman kenalan di FEB. Tapi Alhamdulillah lama-lama jadi terbiasa, dan enjoy aja sama keadaannya,” ujarnya.
Selain itu dukungan dari rekan kuliah dosen dan tendik di lingkungan FEB menurutnya sangat membantu dirinya untuk beradaptasi belajar dengan baik. “Buat aku mudah buat belajar. Jadi perlahan-lahan aku bisa membaur dan bisa hidup dg lingkungan FEB hingga saat ini. Jadi overall, sangat menyenangkan dan mengesankan.
Untuk mensiasati agar ia bisa mengikuti kuliah dengan baik, Dewi punya strategi sendiri yakni dengan selalu membiasakan diri membaca materi dan buku yang bahasanya berbahasa Inggris. Ia pun aktif di kelas karena rekan seangkatannya juga sangat aktif. “Peningkatan diri tidak hanya tentang wawasan dan pengetahuan saja, tapi juga pola pikir, tingkah laku, kedisiplinan, dan pengalaman, “ ujarnya.
Dewi mengaku merasa beruntung adanya program beasiswa Bidikmisi dimana sangat membantu kelancaran kuliahnya. Mengingat kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan yang tidak berbuat banyak untuk membiayai keperluannya selama kuliah. Ia sempat mengingat saat orang tuanya sempat tidak mengizinkan untuk kuliah di Jogja. Namun ia bersikeras. Padahal, saat itu ayahnya sudah jatuh sakit. “Beasiswa ini sangat membantu. Sangat-sangat-dan sangat membantu kelancaran kuliahku. Terlebih sebagai anak rantau juga. Terlebih lagi juga pas masuk kuliah kondisi ekonomi keluarga juga sedang nggak baik, karena bapak jatuh sakit,” kenangnya.
Selam kuliah, kata Dewi, ia tidak hanya duduk manis mengikuti perkuliahan saja namun tetap aktif di luar kelas dengan ikut organisasi intra dan ekstrakurikuler. “Ekstrakurikuler juga aktif di beberapa organisasi baik dalam kampus maupun luar kampus. Bahkan sampai sekarang, juga masih aktif di beberapa organisasi. Akademik juga tetep jadi prioritas utama. Lomba juga cukup hobi, baik yg akademik maupun non akademik. Dan beberapa kegiatan pengembangan diri lainnya, kayak proyek sosial, volunteer, internship, juga cukup aktif,” jelasnya.
Saat ini Dewi tinggal menunggu ujian sidang skripsi. Penelitiannya tentang Sistem Informasi Akuntansi wakaf yang ia kerjakan bersamaan dengan proyek dosen FEB yang dibiayai oleh LPDP. “Aku jadi asisten penelitian di sana sembari mengerjakan skripsi. Kemarin sempat magang di beberapa tempat. Doakan semoga segera lulus,” pinta Dewi yang bercita-cita ingin menjadi akademisi dan peneliti. (*)