Jogja Buana Lakukan Konservasi dan Manfaatkan Lahan Marginal di Minggir Sleman

Bibit Alpukat yang diproduksi Jogja Buana. (Foto: Wiradesa)

SLEMAN – Jogja Buana melakukan konservasi dan memanfaatkan lahan marginal untuk usaha pertanian terpadu di wilayah Minggir, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lahan kritis ini dulu ditanami tebu dan sudah beberapa tahun dibiarkan, mangkrak.

Lahan kritis ini berada di wilayah Padukuhan Diro, Kalurahan Sendangmulyo, Kapanewon Minggir, Kabupaten Sleman. Tanah milik desa seluas 2,5 hektar itu terlihat kering dan keras, tidak ada unsur hara dan tidak ada mikroba pengurai tanah.

Oleh tiga alumni Teknik Geodesi UGM, M. Zaim Nurhidayat, Guron Septoharjo, dan Sofyan Hadi yang tergabung dalam Jogja Buana, lahan kritis itu dikonservasi dan dimanfaatkan untuk usaha pertanian terpadu, atau integrated farming.

Konservasi yang dijalankan dengan cara menambah mikroba dan material organik di lahan kritis. Mikrobioma akan memelihara nutrisi tanah. Sedangkan material organik, seperti pupuk kandang, potongan rumput, dan lainnya yang menjadi humus, akan meningkatkan unsur hara di dalam tanah.

Bahan humus mengandung unsur hara, seperti NH4, NO3, SO4, S, dan H2PO4. Unsur-unsur ini yang membuat tanah menjadi subur. Melalui proses mineralisasi, bahan organik akan tersedia unsur hara mikro dan makro.

Baca Juga:  Capaian Vaksinasi PMK Baru 13,85 Persen

Lima Usaha Pertanian Terpadu

Lahan kritis yang sudah dikonservasi, selanjutnya dimanfaatkan untuk usaha pertanian terpadu. “Saat ini kami melaksanakan lima usaha, mulai dari penanaman dan pembibitan pohon buah, ternak hewan, green house, pembuatan pupuk, sampai bank pakan,” ujar Guron Septoharjo, Jumat 11 Oktober 2024.

Tanaman buah yang ditanam di lahan yang sudah dikonservasi ada 250 pohon Alpukat jenis Miki dan Pluang. Sedangkan bibit Alpukat yang siap dipasarkan ada ratusan. “Kami memilih menanam buah Alpukat, karena pohon ini menyerap karbon dan menghasilkan banyak oksigen,” tegas Guron Septoharjo yang bermitra dengan para petani di berbagai daerah di Indonesia.

Ternak domba ala Jogja Buana. (Foto: Wiradesa)

Untuk usaha ternak hewannya, pengelola Jogja Buana melaksanakan breeding atau pengembangbiakan dan penggemukan domba dan sapi. Breeding domba indukan jantan Dooper dengan betina Cross Texel, harapannya dapat anakan Dooper F2.

Pada lahan marginal itu juga dibangun green house seluas 500 meter persegi. Di dalamnya ditanami 1.280 pohon cabai jenis Rawit Ori Grade A. Sekarang pohon cabainya sudah beberapa kali petik. Setiap petik menghasilkan 6 sampai 7 kilogram. Harga cabai Rp 35.000 per kg.

Baca Juga:  Fernandya Riski Hartantri Dilantik Sebagai Kaur Danarta Kalurahan Condongcatur

“Tanam cabai itu usia panennya tiga bulan. Sedangkan usia produktifnya sampai satu tahun. Petik cabainya setiap tiga atau empat hari sekali,” jelas Mufti, pekerja di green house. Pada Jumat (11/10/2024) Mufti bersama istri dan anaknya sedang memetik cabai yang berwarna kuning kemerahan.

Pupuk padat dan cair produk Jogja Buana. (Foto: Wiradesa)

Usaha pembuatan pupuk dilakukan dengan memanfaatkan kotoran hewan (kohe) ternak domba dan urine domba. Kohe yang difermentasi menjadi pupuk kering. Sedangkan urine domba yang dicampur dengan molase dan bakteri EM4 menjadi pupuk cair.

Selanjutnya usaha bank pakan diupayakan dengan menanam rumput dan memanfaatkan limbah kulit kedelai, batang jagung, dan Jerami. Pakan yang sudah tersedia digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak domba dan sapi. Suatu saat nanti juga dijual untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak milik peternak jaringan Jogja Buana.

Upaya para alumni Teknik Geodesi UGM untuk konservasi dan pemanfaatan lahan kritis di Minggir, Sleman, DIY, layak diacungi jempol. Mereka punya pengalaman tentang pemetaan lahan dan pertambangan yang terpanggil untuk memetakan lahan kritis, melakukan konservasi, dan mengolah lahan untuk usaha pertanian terpadu, perlu kita dukung bersama.

Baca Juga:  Lezatnya Cumi Goreng di Pantai Drini Gunungkidul

Berdasarkan pengamatan Wiradesa.co, masih banyak lahan kritis, bekas tanaman tebu, di wilayah DIY yang sekarang dibiarkan mangkrak. Karena tanah yang sebagian besar milik desa ini menjadi keras, tidak subur, dan tidak layak untuk ditanami. Sehingga konservasi dan pemanfaatan lahan marginal juga perlu dilakukan di kalurahan lain, selain Kalurahan Sendangmulyo, Minggir. (Ono)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *