Muntowil, Ajak Wisatawan Melihat Jogja dari Desa

Muntowil, dengan salah satu koleksi sepeda onthel lawas yang digunakan untuk berkeliling desa mengantar wisatawan domestik dan mancanegara. (Foto: Wiradesa)

Ratusan sepeda onthel dikoleksi Muntowil. Seluruh koleksi sepeda masuk kategori sepeda keluaran lama dari berbagai merk. Hobi mengkoleksi sepeda diakui Muntowil sejak pertama kali tinggal di rumahnya di Bantar Kulon, Banguncipto, Sentolo pada 2003.

“Sepeda pertama terbeli Rp 800 ribu merek Raleigh tapi tak lama ditaksir orang Australia. Diboyong ke sana dibeli Rp 1,5 juta,” kenang Towil sapaan akrabnya, Kamis 26 Januari 2023.

Towil kembali membeli sepeda dari uang penjualan sepeda pertama. Dari satu sepeda, Towil kini mengkoleksi ratusan sepeda tua. Ia tak menghitung pasti berapa jumlah koleksi sepeda. Saking banyaknya. “Jumlah tepat nggak ingat. Kalau 100 sepeda, ada. Tapi kalau 200 sepeda, tak sampai. Yang disewa di Yogyakarta Internasional Airport (YIA) sebanyak 30 sepeda,” kata Towil.

Towil dan sepeda sepertinya telah menyatu. Bagi yang telah mengenal sosoknya, orang bakal buru-buru menyebut sepeda begitu dengar nama lelaki kelahiran Boyolali itu. Berbincang akrab dengan wiradesa.co di joglo sederhananya, ia mengatakan, bila sepeda telah menjadi passion baginya. Ia tak bisa jauh dari sepeda. Dari awalnya sekadar hobi, sepeda menjelma sebagai bagian dari rutinitas hariannya sebagai seorang pelaku wisata desa. Bagaimana tidak, ribuan wisatawan baik domestik maupun mancanegara telah diajaknya mancal sepeda keliling desa.

Towil mengisahkan, kegilaannya terhadap sepeda diawali cerita sepele. Di tengah kesibukan sebagai agen pemasaran kerajinan melayani pemasaran kerajinan pesanan pembeli mancanegara, ia merasa perlu mengisi waktu dengan rekreasi. Ia mencoba gabung komunitas motor namun justru merasa kurang sreg. Ikut komunitas mancing, tetap merasa belum ketemu hobi yang pas hingga akhirnya ketemu sepeda tua. “Jogja punya banyak sebutan. Kota budaya, kota wisata, hal itu mengilhami bagaimana akhirnya menekuni onthel. Sekadar buat isi waktu. Belum segila sekarang,” papar Towil.

Baca Juga:  Tanaman Porang Penyambung Kehidupan Petani Lahan Kering

Lewat sepeda pula, Towil membidik bidang kerja tak jauh dari pariwisata. Dia mengajak wisatawan domestik dan mancanegara melihat Jogja dari desa. Apa yang dulu pernah diangankan tentang kembali ke alam, merambah kearifan lokal tentang budaya desa, terjawab benar. “Dari sekadar rekreasi menyalurkan hobi sepeda selanjutnya justru banyak plus-plusnya. Sepeda ternyata bisa jadi sarana wisata menikmati alam pedesaan,” imbuhnya.

Sekitar 2007 Towil sudah mulai kedatangan turis dan mengajak mereka ngonthel sepeda. Mulanya dia jemput bola. Datang ke desa di Candi Sambisari bawa sepeda pakai pick up dari rumah. Berkali-kali ia lakukan bersepeda bersama bule wisata keliling desa. Terbelit kerepotan membagi waktu, Towil mulai berpikir melihat desa tempat tinggalnya dijadikan sebagai destinasi wisata sepeda. Toh sesuai konsep awal kembali ke desa.

“Desa di mana saya tinggal di Banguncipto ternyata bisa menjawab kebutuhan akan destinasi wisata desa bersepeda. Banyak yang bisa diceritakan kepada tamu-tamu mancanegara juga tamu domestik,” jelasnya.

Bersepeda, Hobi yang Dibayar

Baca Juga:  Memanfaatkan Bekas Kemasan Air Mineral untuk Menanam Sayuran

Bersepeda dengan sepeda onthel tua menempuh jarak sekitar 20 kilometer di jalan-jalan desa, melintasi persawahan, saluran irigasi, rumah warga, kandang ternak, kebun, Towil mengakui banyak yang dapat diceritakan kepada wisatawan. Sumur, pohon kelapa, sawah, menanam padi, panen padi, aktivitas warga, menurutnya sebagai kekayaan desa yang tak pernah habis untuk diceritakan. Bahkan hingga resepsi pernikahan, sajian lemper, orang momong, anak-anak main bakal menjadi bahan cerita menarik bagi para tamu.

“UMKM, orang merajut, bikin tempe, emping, ketupat, bikin arem-arem, menarik bagi wisatawan khususnya bule. Semua kegiatan di desa merupakan pengetahuan yang bisa disampaikan,” bebernya.

Membidik wisata minat khusus bersepeda keliling desa, kini Towil dibantu tim berjumlah 15 orang sebagai pemandu wisata. Meski menata usaha wisata sedemikian rupa, bahkan bekerja sama dengan biro perjalanan mancanegara namun Towil mengatakan, apa yang dijalaninya bukan semata berorientasi bisnis. Ia tak pernah pasang target berapa duit yang masuk mingguan, bulanan apalagi tahunan. Ia lebih suka menjalani pekerjaan dengan sebutan sebuah hobi yang dibayar. Ia bisa olah raga bersepeda setiap saat, menghirup udara bersih pedesaan, sekaligus beroleh pundi-pundi penghasilan dari para tamu yang mengajaknya sepedaan.

“Ini kan privat tur, wisata khusus. Tak semua orang suka. Soal penghasilan sebutlah hobi bersepeda yang dibayar,” tuturnya sembari menambahkan, hari itu ia kedatangan empat orang tamu dari Belanda dan Slovenia.

Baca Juga:  UGM Dukung Mitigasi Perubahan Iklim Lewat Kegiatan Tridarma

Towil tak menampik, kunjungan wisata ke Towilfiets–kediaman yang ia jadikan titik awal sekaligus finish perjalanan bersepeda ke pelosok desa berawal dari pekerjaan lamanya di hotel. Dari hotel tempatnya kerja dulu ia mengenal para pelaku wisata dan agen perjalanan wisata. Sebelumnya ia lama menggeluti agen pemasaran kerajinan baik ikut perusahaan maupun akhirnya memilih kerja mandiri. Ia pernah mengambil risiko pamit dari zona nyaman. “Dulu ketika ikut perusahaan diberi gaji gede. Dapat fasilitas kendaraan. Ke mana-mana selalu diantar driver. Tapi kemudian ambil keputusan penuh risiko. Beruntung lepas dari situ, tak repot cari pekerjaan karena pekerjaan berikutnya telah menunggu,” kenang Towil.

Towil pun menceritakan riwayat pekerjaannya dulu selepas SMA di Boyolali. Lama ia bekerja sebagai waiters salah satu resto di Prambanan. Di situ awal terbukanya wawasan. Ia banyak belajar kepada para tamu bule dengan beragam latar budaya. Berikutnya cukup lama pula ia menjaga toko kelontong hotel bintang empat di kawasan Jalan Gejayan. “Sebelum total di sepeda, lama banget kerja sebagai agen pemasaran kerajinan. Di kerajinan benar-benar survive. Tapi untuk saat ini, fokus sudah beralih ke sepeda,” pungkasnya. (Sukron)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *