YOGYAKARTA – Peneliti UGM terus mengembangkan kecerdasan alat deteksi Covid-19 melalui embusan napas, GeNose C19 agar semakin akurat. “Indonesia mengenalkan inovasi berupa alat deteksi virus, yakni GeNose, yang dapat mendeteksi Covid-19 kurang dari dua menit,” ucap Menteri Ristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro pada forum diskusi “Enabling Global Health Security” yang diadakan oleh UK-Indonesia Consortium for Interdisciplinary Studies (UKICIS), Kamis, 25 Februari 2021.
“Saat ini GeNose C19 masih terus dikembangkan, baik dari sisi artificial intelligence (kecerdasan buatan) maupun prosedur operasi standar penggunaan alatnya,” jelas Prof Kuwat Triyana, Ketua Tim Peneliti sekaligus penemu GeNose C19. Menurutnya, tim peneliti terus berusaha mengembangkan akurasi GeNose C19 dengan menambah kemampuan sensitivitas dan spesifisitas. Para peneliti sedang berfokus pada aspek kontaminasi yang dapat menyebabkan sensitivitas GeNose C19 terganggu, misalnya karena seseorang merokok sebelum tes. “Kami mencoba memastikan alat kami setiap saat, juga meningkatkan kecerdasan buatan GeNose C19 dengan memperbarui sampel setiap hari,” jelas Kuwat.
Secara teknologi mesin GeNose C19 sebetulnya telah mapan. Namun, saat ini peneliti masih menyempurnakan kecerdasan buatan yang menjadi “otak” dari alat skrining Covid-19 tersebut. “Penggunaan GeNose C19 di stasiun dan bandara akan menghimpun data-data baru bagi pengembangan kecerdasan buatan yang semakin akurat,” tutur penemu GeNose C19 lainnya, dr Dian K Nurputra.
GeNose, berbeda dari teknologi serupa negara lain. GeNose C19 mendayagunakan sistem semburan pada kantong napas yang tidak tersambung langsung dengan mesin. “Saat kantong napas disambungkan ke mesin, proses hisapan dengan aliran udara yang stabil ke dalam mesin akan membuat pembacaan sensor lebih akurat,” terang Dian.
Pada GeNose C19, embusan napas tidak langsung ditiupkan pada sensor. Tiupan langsung akan mengakibatkan ketidakakuratan sensor dalam membaca, karena aliran udara yang tidak stabil dan bervariasi dari masing-masing pengguna.
Selain dihadiri oleh Kuwat Triyana, hadir Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Indonesia Prof Ali Ghufron Mukti, Ahli Pertukaran Riset dan Pengetahuan dari University of Nottingham Prof Dame Jessica Corner, dan profesor onkologi molekuler University of Warwick Prof Lawrence Young. Moderator dari Australian National University Ines Atmosukarto menanyai para narasumber mengenai fenomena politisasi sains di berbagai negara. “Sains bisa memberi saran, tapi pemerintah yang menentukan keputusan,” tutur Lawrence Young yang juga seorang virolog. Senada, Jessica Corner menuturkan, pentingnya menjadikan sains lebih dekat secara personal kepada publik. Menurut Prof Young, komunikasi sains pemerintah maupun saintis menjadi kunci penanganan pandemi.
Menanggapi hal tersebut, Ali Ghufron Mukti menimpali penting bagi para ilmuwan untuk membuktikan ucapannya secara objektif dan berdasarkan bukti nyata. Ia memberi contoh Kuwat, Dian dan timnya telah membuktikan bahwa GeNose C19 memiliki tingkat akurasi yang tinggi sehingga alat tersebut dapat dipergunakan bagi khalayak luas.
“GeNose C19 dapat digunakan di fasilitas kesehatan maupun di tempat-tempat seperti stasiun. Pemerintahlah yang melahirkan kebijakan terkait penempatan GeNose di stasiun-stasiun maupun tempat wisata,” tutur Dian. Bagi doktor di bidang neurogenetik dan epidemiologi genetik ini, sebagai seorang saintis ia bekerja dalam kaidah akademik dan memberikan rekomendasi untuk kondisi darurat seperti pandemi.
Pertemuan tersebut menandai semakin eratnya hubungan riset dan diplomatik antar kedua negara. Pada kesempatan yang sama, Bambang Brodjonegoro menandaskan dengan terbentuk UKICIS, kedua negara dapat berbagi sains, teknologi, riset, dan inovasi yang fundamental bagi masyarakat kedua negara maupun global. (Sukron)