PADA Minggu 13 Agustus 2023 terjadi “Perang Saudara” di Perbukitan Sumilir, tepatnya di Dusun Candisari, Kalurahan Wukirharjo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Peperangan ini menjadi tontonan, tuntunan, dan hiburan masyarakat.
Perang saudara pada lakon “Aryo Penangsangan” tersebut dibawakan oleh warga Perbukitan Sumilir dengan didukung grup karawitan Wukir Manunggal. Pentas Langen Carito selama satu jam itu menjadi tontotan, tuntunan, dan mengibur masyarakat.
Tuntunan yang bermakna bagi kehidupan manusia. Bahwa apapun tingginya kesaktian seseorang, pasti ada batasnya. Apapun pandainya seseorang, pasti ada batasnya. Sehingga manusia itu tidak boleh jumawa, sombong, atau tinggi hati. Karena manusia ada keterbatasan dan pada saatnya akan kembali ke Yang Maha Kuasa.
Babad “Aryo Penangsangan” mengisahkan peperangan antara Raden Arya Penangsang dari Jipang Panolang melawan Raden Sutawijaya dari Pajang. Setelah runtuhnya Kerajaan Demak Bintoro terjadi pertikaian saudara antara Jipang melawan Pajang yang membawa korban gugurnya Arya Penangsang. Padahal Arya Penangsang terkenal dengan kesaktiannya.
Dari kisah tersebut, Raden Sutawijaya akhirnya mendapatkan Tanah Perdikan berupa Alas Mentaok dari Sultan Pajang. Alas Mentaok itu merupakan cikal bakal tempat dibangunnya Kerajaan Mataram Islam.
Pementasan seni budaya di perbukitan itu tidak hanya menarik perhatian warga setempat, tetapi juga warga dari berbagai daerah. Ada penonton yang datang dari Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunuungkidul, dan Klaten. Mereka tidak hanya terhibur oleh “Pentas Drama Dalam Rasa Swara” yang diinisiasi komunitas Omah Tabon, tetapi juga makanan tradisional Cucur. Penonton dihidangkan kue Cucur, kacang godok, pisang godok, dan nasi kenduri, gratis.
Masyarakat Wukirsari terhibur, karena sudah dua bulan lebih menghadapi persoalan kekeringan. Lahan pertanian kering, susah air, dan kebutuhan hidup semakin membengkak. Dengan menonton “Langen Carito” masyarakat bisa tertawa melihat perkelaian Pak Sarjono yang memerankan Arya Penangsang dan Mas Ikrom yang memerankan Raden Sutawijaya.

Apalagi ada anak kecil, tetangganya sendiri, yang ikut dalam peperangan. Saat salah satu anak dipukul, seorang ibu yang menonton, berteriak “Ayo lawan….tangi”. Ibu yang lain juga berkata lantang “Hajar…hajar….terus”. Katika salah satu anak melakukan gerakan koprol, berguling guling mau jatuh dari panggung, semua penonton tertawa terbahak-bahak. Maklum panggungnya berada di pinggir jurang perbukitan, tanpa ada batas pengamannya.
Usai menghibur masyarakat, para pemain Langen Carito juga merasa senang. Karena para seniman perbukitan ini sudah sepuluh tahun tidak pentas. Mereka yang hampir semuanya petani, dihadapkan pada persoalan hidup yang menghimpitnya, tanah kering, sulit air, dan arus modernisasi yang menyudutkannya.
Para pelaku seni tradisi berterimakasih, maturnuwun dengan para pegiat seni dari Omah Tabon dan pegiat wisata seni budaya dari Yogyakarta, Sleman, dan Bantul, serta Dinas Kebudayaan Sleman. Karena tanpa keikhlasan dan perhatian mereka, para seniman lokal tidak ada kesempatan untuk pentas. Bagi seniman pertunjukan, sepuluh tahun tidak pentas, merupakan siksaan, penderitaan, dan pemasungan kreativitas. (Ono Jogja)