YOGYAKARTA – Tim GeNose C19 UGM telah mempublikasikan sebagian data riset GeNose C19 sebagai bagian pertanggungjawaban ilmiah riset hilirisasi implementasi GeNose C19 sebagai alat skrining COVID-19 di dua jurnal internasional bereputasi dan prestisius pada tahun 2022.
Menurut Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha dan Kerja Sama, Ignatius Susatyo Wijoyo MM, dua jurnal tersebut, adalah Artificial intelligence in Medicine (AIIM), yang merupakan jurnal Q1 dengan impact factor 7,011, dengan judul Hybrid learning method based on feature clustering and scoring for enhanced COVID-19 breath analysis by an electronic nose, terbit pada bulan Mei 2022 (Vol. 129(02323), Hal. 1-13). Jurnal kedua yakni Nature portfolio journal (npj) Digital Medicine, yang merupakan jurnal Q1 dengan impact factor 15,357, dengan judul Fast and noninvasive electronic nose for sniffing out COVID-19 based on exhaled breath-print recognition, terbit pada bulan Agustus 2022 (Vol. 5(115), Hal. 1-17).
“Dua publikasi tersebut masih merupakan tahap awal dari keseluruhan data yang saat ini dalam proses penyelesaian penulisan manuskrip, yakni terkait dengan data hasil uji klinis multisenter dan uji validasi eksternal yang melibatkan multi institusi. Seluruh manuskrip lanjutan tersebut nantinya akan dipublikasi di jurnal-jurnal internasional bereputasi berikutnya,” kata Ignatius Susatyo Wijoyo, Senin 22 Agustus 2022.
Diterimanya publikasi hasil riset GeNose menunjukkan bahwa konsep sensing infeksi dengan analisis volatile organic compound (VOC) nafas berbasis big data dan kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) dapat diterima dalam aplikasi klinisnya. Hal ini dibahas secara lengkap di manuskrip kedua. Dengan diterimanya konsep ini, tentunya di masa yang akan datang, pemanfaatan AI dan teknologi informasi menjadi sebuah revolusi dalam memanajemen penyakit baik itu infeksi maupun non-infeksi, di mana data-data yang dikumpulkan dari pasien dengan metode tertentu secara terstandarisasi dapat menjadi sumber biomarker baru yang valid, reproducible dan terjangkau.
Inventor GeNose C19 Prof Dr Eng Kuwat Triyana MSi mengatakan, diperlukan pengujian terus menerus dan update dari database serta algoritma AI untuk terus dapat meningkatkan performa diagnostiknya, yang mana proses learning berbasis hybrid dibahas secara lengkap di manuskrip pertama. Sekali lagi, proses pengujian hasil learning secara uji diagnostik multisenter sekaligus hasil validasi eksternal akan diterbitkan di jurnal internasional bereputasi berikutnya.
Sebagaimana diketahui, pada 2021 Genose C19 dipergunakan secara luas dengan menggunakan skema emergency use authorization (EUA) sebagai bagian bentuk hilirisasi dan tindakan cepat dalam upaya untuk berkontribusi mengendalikan penyebaran virus COVID-19.
Proses dua publikasi GeNose ini bukan dikerjakan dalam jangka waktu sebentar. Pengumpulan data dan penulisan telah dilakukan sejak tahun 2020. Proses submisi sudah sejak dilakukan sejak “patent granted” di 2021 (saat itu publikasi awal dalam bentuk preprint di research square), dan setelah melalui revisi dan diskusi intensif dengan reviewer dengan jawaban rebuttal letter mencapai 40 halaman lebih, baru kemudian manuskrip riset GeNose bisa diterima.
Banyak para ahli, akademisi dan mayarakat ilmiah menanyakan, mengapa publikasi GeNose tidak keluar lebih dahulu, baru kemudian dilakukan hilirisasi agar tidak terjadi penolakan dan kontroversi?
Secara umum, proses hilirisasi suatu produk kesehatan dalam kondisi normal akan mengikuti alur normal di mana setelah adanya uji klinis, baru kemudian publikasi, lalu pendaftaran ke Dirjen Farmalkes untuk mendapatkan izin edar. Namun, dalam kondisi pandemi COVID-19, di mana inovasi secara cepat diperlukan dan sebagaimana beberapa produk kesehatan lainnya yang muncul selama masa pandemi, seperti vaksin, obat, teknologi VTM dan lain-lain, setelah proses uji klinis, hasil uji klinis dapat diajukan langsung ke pendaftaran izin edar, sembari menunggu proses publikasi. Uji klinis pun harus dilakukan dengan evaluasi awal, izin dan pemantauan ketat oleh regulator serta izin edar pun masih bersifat emergency use authorization yang kemudian perlu diperpanjang lagi. Proses review oleh panel ahli dari berbagai universitas, kalangan industri saat pengajuan izin edar ini sebenarnya tidak berbeda dengan proses review pada saat publikasi, bahkan sama ketatnya.
Saat ini GeNose C19 sedang dalam proses perpanjangan izin edar sekaligus mengepakkan sayap ke Malaysia, Singapura, Jepang dan Kamboja, sambil terus dilakukan update berkala pada piranti lunak GeNose C19 ke versi terbaru 1.4.2 yang telah memiliki data base varian omicron, B.A. 3 dan B.A 5.
“Bisa dibayangkan, apabila GeNose C19 saat itu mengikuti alur hilirisasi normal, maka selain pemanfaatan baru akan keluar pada tahun 2022 di mana kasus sudah tidak dominan sehingga hilirisasi tidak tepat waktu, dan tentu akan kalah jauh dengan breathalizer lain yang sedang diaplikasikan di dunia,” imbuh Kuwat.
Sementara itu, breathalizer di Amerika Serikat serupa GeNose C19 juga baru April 2022 mendapatkan izin edar EUA di Amerika Serikat hingga saat ini belum memunculkan publikasi sehingga boleh dikatakan bahwa publikasi GeNose C19 sebagai electronic nose untuk deteksi COVID-19 berada di jajaran terdepan dunia. Publikasi GeNose C19 ini harapannya menjadi sebuah hadiah kecil dari UGM untuk HUT Ke-77 RI sebagai pangejawantahan: UGM mengakar kuat, menjulang tinggi, dari Indonesia untuk dunia. (*)