Di balik jiwa yang sehat, maka diperlukan fisik yang kuat pula. Mengingat, modal jiwa dan raga yang sehat harus dibangun sejak dini sebagai modal kesehatan yang akan dituai di hari tua kelak. Meski usia remaja sering dianggap sebagian besar usia sehat, namun kebiasaan sehari-hari akan sangat mempengaruhi penurunan kesehatan dengan munculnya sindrom metabolic, penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia.
Salah satu kebiasaan baik yang harus dibangun sejak remaja adalah: aktivitas fisik 30 menit per hari minimal 5 hari per minggu, mengkonsumsi makanan real-food dan bukan junk-food, preparing food, istirahat yang cukup, dan memiliki sahabat dan keluarga terdekat untuk membantu permasalahan kesehatan dan sosial.
Hal itu mengemuka dalam gelar wicara bertajuk “Move More, Stress Less: The Science Behind Sport Exercise and Mental Health in Adolescent and Young Adult (AYA)” di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas UGM pada Jumat (8/11). Gelar wicara menghadirkan dr. Tirta Mandira Hudhi, MBA., dokter lulusan FK-KMK UGM yang kini giat menjadi influencer dan pengusaha; serta, dr. Fransica Handy, Sp.A IBCLC., Pendiri Asosiasi Kesehatan Remaja Indonesia dan dipandu dr. Fitriana Murriya Ekawati, MPHC., Sp.KKLP., Subsp. FOMC., dari Departemen Kedokteran Keluarga FK-KMK UGM sebagai pewara.
Menurut Tirta, kompleksitas pola hidup sehat saat ini, tidak lepas dari percepatan teknologi dan pandemi. Alhasil, fenomena ini rentan terhadap sindrom metabolik, khususnya pada remaja. Namun, sejak pandemi pula, tren produk paling laris pada 2022 justru diduduki oleh outdoor brand yang menjual kit lari, sepeda, mendaki, dan lainnya. “Selama pandemi banyak anak muda yang terkungkung, jadi mencari kesibukan di luar rumah. Ini hal bagus, walaupun di dicekoki teknologi, tapi tetap suka outdoor,” kata Tirta.
Di sisi lain, Tirta menyampaikan bahwa, telah terjadi penurunan usia pada penderita penyakit ginjal stadium 1 sampai 3 yang terjadi akibat gaya hidup yang buruk. “Mengkonsumsi makan sehat, tapi tetap minum manis,” singgung Tirta.
Sementara Fransica menjelaskan, di era bonus demografi Indonesia saat ini, maka dibutuhkan generasi yang sehat dan berkualitas. Ia menuturkan bahwa “there is no health without mental health”, sehingga perlu keseimbangan bagi anak muda dalam mengelola kesehatan diri. “Kalian ini akan jadi next parents, jadi orangtua adalah kunci dari kesehatan dan kesejahteraan generasi yang mereka besarkan. Jadi, semakin cepat dimulai (pola hidup sehat), maka semakin baik untuk ke depan,” jelas Fransica.
Berdasarkan survei kesehatan mental (INames) yang dilakukan oleh Fransisca bersama tim peneliti, ditemukan sekitar 30% anak remaja di usia 17 tahun mengalami gangguan kesehatan jiwa. Ditambah lagi, hasil temuan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia pada 2022 menunjukkan bahwa orang dengan rentang usia 20-30 tahun merupakan populasi yang paling banyak mengakses telekonsultasi psikologis. Oleh karena itu, fenomena ini menjadi pertimbangan kritis bagi dunia kesehatan. Hal ini berkaitan erat pula pada optimalisasi bonus demografi untuk mendulang perwujudan generasi emas Indonesia.
Para anak muda didorong untuk memulai kebiasaan baik melalui aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari, mengonsumsi makanan bergizi dengan menghindari junk-food, istirahat cukup, menjalin relasi dan komunikasi yang baik dalam lingkaran sosial, khususnya teman dan keluarga.
“Olahraga sedikit demi sedikit, itu juga sambil merelaksasi pikiran kita. Sekitar 7% dari anak remaja itu punya gejala depresi dan anxiety, terjadi karena ambisius. Lalu, pola makan tidak terjaga sehingga mengganggu sistem metabolik,” pesan Fitriana. (*)