YOGYAKARTA-Kepedulian masyarakat zaman dulu terhadap lingkungan sangat kental dengan nilai kearifan. Masyarakat zaman dulu tak sembarangan menebang pohon, juga tak sembarangan membuang sampah ke sungai.
Hal itu diungkapkan Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (FKPDAS) DIY Dr Masrur Alatas ST MEng di sela Rakor Penyusunan Rencana Kerja FKPDAS DIY di Kantor DLHK DIY, Rabu 25 Juni 2025. “Masyarakat pada zaman dahulu sangat mempedulikan lingkungan. Mereka tak berani buang sampah ke sungai, khawatir kualat.Karena masyarakat menggunakan air sungai untuk mandi, cuci. Masyarakat juga beraktivitas di badan sungai,” kata Masrur.
Masrur prihatin nilai kearifan semacam itu sudah terdegradasi.Masyarakat relatif ingin membuang sampah di sungai karena tak punya lahan cukup di rumah untuk membuat jogangan tempat membuang sampah seresah daun dan limbah rumah tangga. Atas keprihatinan tersebut, melalui FKPDAS DIY pihaknya menggagas program mikrojogangan (mijongan) turunan dari jogangan yang biasa dibuat oleh nenek moyang zaman dulu.
“Mikrojogangan idenya meniru kearifan lokal nenek moyang zaman dulu. Dulu demi menjaga lingkungan, seresah daun, sampah rumah tangga dibuang ke jogangan. Dijadikan pupuk kompos,” imbuhnya.
Mikrojogangan dapat dirancang dengan galian pada lahan sekitar rumah dengan ukuran 35cm x 35cm kedalaman 1 meter untuk masing-masing rumah. Dengan mikrojogangan diharapkan sampah seresah daun dan limbah dapur dapat tertampung dan tak perlu dibuang ke mana-mana. Dibiarkan terurai bakteri dan dalam jangka waktu satu bulan dapat dipanen jadi pupuk kompos.
“Uji laboratorium tim kami, pupuk kompos bikinan sendiri secara kualitas hampir memenuhi standar cukup untuk menambah nutrisi tanaman pangan. Jadi tak perlu membeli pupuk kompos untuk tanaman pangan. Tentu ini sesuai. Karena memang program kita untuk swasembada pangan, air dan energi,” jelas Masrur.
Dengan model mikrojogangan individu dalam rumah tangga, lanjutnya, harus berjuang bersama untuk tak mengeluarkan sampah khususnya sampah seresah daun dan limbah dapur ke luar rumah. Dikatakan, mikrojogangan bisa menjadi alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahan timbulan pencemar. Mijongan untuk mengelola sampah rumah tangga untuk mengendalikan pencemaran. Sebab kalau tak selesai di rumah tangga, timbulan pencemar ini akan mencemari lingkungan. Kalau hujan akan dengan mudah terbawa ke sungai, masuk ke irigasi, masuk petak sawah.
Masrur menambahkan, mikrojogangan merupakan bagian dari 10 program yang diusung FKPDAS DIY yang pernah ia sampaikan sebelumnya. Ada pun program lain seperti program konservasi daerah hulu dan sempadan sungai dengan penanaman pohon. Mengenai konservasi daerah hulu dan sempadan sungai dia optimis dapat terlaksana. Mengingat bibit pohon tersedia, komunitas dan banyak pihak turut nyengkuyung.
“Penanaman pohon tahun ini sudah banyak dilakukan. Harapannya akan makin banyak penanaman pohon khususnya di wilayah hulu sungai sesuai amanat gubernur DIY kepada kita untuk menjaga sumber daya air sungai agar tetap lestari,” tuturnya.
Dalam menjalankan programnya, FKPDAS DIY menampung dukungan semua pihak termasuk pihak swasta lewat dukungan CSR mereka. Tahun ini beberapa program mendapat dukungan dari Javlec dan Danone. “Dukungan dari teman-teman dan program CSR dalam kaitan konservasi, sosialisasi, dan dukungan untuk regulasi lingkungan berkelanjutan. Seperti bagaimana kita punya rambu-rambu terkait pengelola lingkungan,” ujarnya seraya berharap orang-orang yang berjuang dalam konservasi DAS mendapat nilai lebih. Termasuk di tingkat desa atau kalurahan. Bagaimana pihaknya bisa menjalin kerja sama dengan desa-desa di DIY untuk mendorong penyusunan peraturan kalurahan tentang lingkungan.
Dalam rakor rencana kerja yang dihadiri lintas sektor juga dibahas berbagai usulan perihal konservasi daerah tangkapan air dan daerah resapan air, konservasi sempadan mata air, sempadan sungai dan sempadan embung, sosialisasi pengelolaan DAS dan sub DAS melalui podcast, FGD dan workshop. (Sukron)








