YOGYAKARTA – Masalah kesehatan mental pada akhirnya bisa memicu timbulnya tindak kriminalitas yang menyeret kaum muda terlibat di dalamnya. Baik sebagai pelaku maupun sebagai korban.
Kemiskinan dan eksklusi sosial menyebabkan kerentanan yang paling nyata pada kaum muda sehingga melibatkan mereka pada berbagai kasus kejahatan. Sebutlah kejahatan jalanan macam klithih hingga tindak kejahatan yang lebih ekstrem.
Wahyu Kustiningsih SSos MA, Sosiolog dari Departemen Sosiologi Fisipol UGM mengemukakan hal itu pada Focus Group Discussion (FGD) Sekolah Wartawan Forum Wartawan Kampus Gadjah Mada (Fortakgama) di Gedung Pusat UGM, Kamis 27 Juli 2023.
“Kaum muda merupakan bagian dari masyarakat yang sangat dinamis. Generasi muda merupakan kelompok rentan mengalami gangguan mental. Bukan berarti generasi di atasnya tak punya problem. Tapi bicara generasi muda menjadi bahan diskusi menarik,” papar Wahyu pada acara yang diikuti 10 jurnalis media online, televisi dan media cetak di DIY.
Menurutnya, banyak situasi yang mendukung isu kesehatan mental dan kriminalitas marak di kalangan anak muda. Mulai dari kehidupan yang serbatidak pasti, hingga belum semua masyarakat menerima isu kesehatan mental nyata terjadi di sekitar mereka. Padahal, bila sejak awal masyarakat peduli, persoalan tersebut bisa ditangani lebih maksimal.
“Kondisi kesehatan mental punya dampak signifikan terhadap perkembangan anak muda dan integrasi sosial serta ekonomi,” ucap Wahyu sembari menambahkan ia menengarai kaum muda yang mana yang paling rentan, generasi y atau z.
Ia mengemukakan penting sekali menelisik karakteristik tiap generasi. Secara mental generasi z disebut punya tipikal ambisius, karena hidup di era media sosial maka semua hal maunya diunggah lewat reel, postingan video.
“Satu sisi anak muda powerfull untuk agenda kampanye apa saja mampu memobilisasi massa tapi di sisi lain mereka kelompok rentan. Di klithih mereka korban dari lingkungan sosialnya. Misalnya bila terjebak masuk geng klithih dari kelompok sebaya mereka diminta melakukan tindak kriminal agar tetap diterima kelompok.
Eksklusi sosial atau ketidakmampuan berpartisipasi dalam relasi sosial menyebabkan kerentanan membuat menarik diri dari pergaulan. “Contoh sederhana seorang mahasiswa hanya karena tak memiliki kemampuan Bahasa Inggris menjadikan ia tereksklusi. Merasa bukan menjadi bagian dan akhirnya malas masuk kuliah. Hal-hal semacam itu harus menjadi perhatian bahwa anak muda itu rentan,” tandasnya.
Anak muda rentan terhadap persoalan kesehatan mental sejatinya dipicu beragam faktor. Adanya traumatis, stigma, pengalaman buruk bencana alam. Termasuk di dalamnya kondisi diri mereka sendiri yang berada pada masa transisi. Belum bisa mencari penghasilan, finansial, pekerjaan, juga lemah akses sumber daya.
“Ketakutan anak muda yang terbesar bila bicara pengangguran di tengah kompetisi luar biasa ketat. Ada ketakutan lulus mau jadi apa?,” imbuhnya.
Menyoal hal itu, ketika ditanya mau jadi apa, banyak jawaban mau jadi Youtuber, selebgram, yang duitnya banyak. Terimbas sebagian selebgram yang suka pamer harta. Padahal di dunia tersebut tak semua bisa sukses pasalnya tak semua pembuat konten bisa diterima publik.
“Jadi anak muda butuh ruang untuk menghilangkan ketidakpastian. Lulus S2 saja belum tentu dapat kerja sesuai imajinasi. Bagi yang sudah kerja tak sedikit yang masih pendapatan di bawah UMR, banyak pemberi kerja tak berani jamin sustainability,” ungkapnya sembari menyebut sejauh ini belum ada data perihal berapa jumlah pasti anak muda yang mengalami masalah mental.
Khusus di perguruan tinggi yang mana para mahasiswa masuk dalam kelompok rentan, Wahyu berharap kampus peduli dengan menyediakan akses layanan kesehatan mental. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan diharapkan pula untuk menyediakan fasilitas dan kemudahan akses pelayanan kesehatan mental bagi anak muda.
“Semua level mulai pemerintah, kampus, keluarga dan masyarakat harus peduli dengan persoalan kesehatan mental. Harus ada upaya untuk memperluas dan memperbanyak fasilitas dan layanan kesehatan mental,” ujarnya. (Sukron)