BANTUL – Tetenger plat besi bertuliskan BRAAT, SOERABAIA, DJOGJA, TEGAL, SOEKABOEMI di Pasar Lawas Bendosari, sampai sekarang masih menjadi misteri. Namun ada yang mengaitkan dengan keberadaan prajurit Diponegoro ke distrik Gadungan.
Distrik Gadungan, pernah menjadi Kalurahan Gadungan, terus menjadi Padukuhan Gadungan Pasar dan sekarang menjadi bagian dari Kalurahan Canden, Kapanewon Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ada yang menduga tempat Pasar Bendosari dulu merupakan penjara. Karena Braat merupakan Bahasa Belanda yang artinya Anak Nakal. Namun ada yang menafsirkan kata Braat itu dipakai Belanda untuk menandai wilayah-wilayah yang banyak pemberontakannya.
“Mungkin istilah Braat itu dipakai Belanda untuk menandai wilayah-wilayah yang banyak pemberontaknya,” ungkap Arif Winarto, Kepala Dukuh Padukuhan Gadungan Pasar, Kamis 9 Februari 2022.
Dalam sejarahnya memang di Kadistrikan Gadungan Bantul itu ada penjara. Karena ada Raden Mas yang bekerja sebagai Upas Bui Kadistrikan Gadungan Bantul. “Upas bui itu sipir penjara,” jelas Pak Dukuh Gadungan Pasar.
Para sesepuh di Gadungan Pasar menceritakan jika dulu pada tahun 1826 ada prajurit Diponegoro yang masuk Gadungan. Prajurit itu suami istri, bernama Kyai Gadung Mlati dan Nyai Gadung Mlati.
Ciri trah prajurit Diponegoro itu di depan rumahnya ada pohon sawo dan pohon kemuning. Ternyata memang ada rumah di Gadungan yang di depannya ada pohon sawo dan pohon kemuning.
Rumah yang di depannya ada pohon sawo dan pohon kemuning itu dulu ditempati M Badri. Sekarang sudah menjadi dua rumah dan dua sertifikat. Artinya ada dua pemiliknya. “Sekarang pohon sawonya sudah tidak ada, tapi masih ada pohon kemuning,” ujar Arif.
Jika sejarah ini benar, maka ada warga di Gadungan Pasar, Canden, Bantul, yang masih menjadi keturunan Trah Prajurit Diponegoro. Mereka orang-orang pemberani dan memiliki jiwa merdeka. Rela dan siap berjuang untuk bangsa dan negara tercinta Indonesia. (*)