Dampak Krisis Iklim Telah Dirasakan Warga Yogya

Ilustrasi: SP Kinasih

YOGYAKARTA – Bertepatan dengan peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April setiap tahunnya, Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih, Mitra Wacana, Jaringan Gusdurian, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, serta Jogja Lebih Bike menginisiasi platform komunikasi Obrolan Bike. Lalu berkolaborasi menggelar diskusi yang bertema “Was-was Iklim Jogja Nggak Jelas” secara virtual pada Kamis, 22 April 2021.

Disampaikan Dr Ir Zainal Arifin MT, tenaga ahli dan peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), dampak krisis iklim telah dirasakan oleh warga Kota Yogyakarta (Yogya) selama beberapa tahun belakangan.

Yaitu dalam bentuk kekeringan berkepanjangan, banjir yang muncul di wilayah yang mulanya tidak rentan banjir. Banjir yang semakin parah di wilayah langganan banjir, serta angin puting beliung. Krisis iklim juga menyebabkan anomali cuaca yang menjadikan musim kemarau dan penghujan tidak lagi dapat diprediksi berdasarkan hitungan kalender bulan.

Dalam konteks Yogya, salah satu kontribusi terbesar atas krisis iklim adalah polusi dan karbon yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan penelitian Pustral UGM pada 2015, penyumbang terbesar emisi karbon di Kota Yogya berasal dari sumber bergerak di mana lebih dari 60 persen emisi karbon di kota ini berasal dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi.

“Studi Walkability dan Bikeability yang kami lakukan bersama kampanye Jogja Lebih Bike di awal tahun ini menemukan bahwa faktor yang mendorong orang memilih moda transportasi yang lebih ramah lingkungan khususnya bersepeda adalah ketersediaan fasilitas dan kondisi kesehatan,” jelas Zainal Arifin.

Baca Juga:  FABA Berpotensi Gantikan Peran Semen

Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah perlu mendorong peningkatan kondisi infrastruktur jalur dan fasilitas sepeda, agar momentum penggunaan moda yang ramah lingkungan tidak terkikis. Sehingga upaya untuk mengurangi polusi udara dan menyehatkan atmosfer Kota Yogya dapat terwujud. Terlebih lagi ketika bersepeda menjadi gaya hidup, pemerintah perlu memberikan ruang dan fasilitas yang lebih baik untuk memfasilitasi kebutuhan green life style.

Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Yogya menjadi salah satu penyebab utama. Menurut data BPS Yogyakarta, pada 2016 hingga 2020 telah terjadi peningkatan kepemilikan mobil penumpang sebesar 32% dan sepeda motor mencapai 55,1%. Kondisi tersebut diperparah dengan semakin minimnya ruang terbuka hijau sebagai penghasil oksigen yang dapat mengurai gas rumah kaca dari kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.

Hingga saat ini, luas ruang terbuka hijau di Kota Yogya tercatat baru mencapai 23 persen yang terdiri dari 15,4 persen ruang terbuka hijau privat dan 8,12 persen untuk ruang terbuka hijau publik.

Meskipun perubahan iklim berdampak negatif kepada semua orang, perempuan merupakan kelompok yang paling rentan. Apalagi, Titi Soentoro, salah satu pendiri AKSI!, organisasi untuk Gender, Social and Ecological Justice menyatakan, kelompok rentan juga mengalami marginalisasi dalam kebijakan dan pembangunan. Sehingga salah satunya menyebabkan beban ekonomi yang lebih besar bagi mereka yang terlibat dalam sektor pertanian, hingga dampak di sektor kesehatan.

“Perubahan iklim selain belum menjadi isu strategis di Yogya, meski sudah ada Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui Pergub No 51 Tahun 2012, tetapi belum diikuti dengan aksi kabupaten atau kota terkait aksi dan kebijakan perubahan iklim, termasuk kerangka kerja yang mengukur dampak aksi lingkungan pada mitigasi dan aksi iklim, terlebih yang memiliki perspektif gender. Padahal aspek gender sudah menjadi mandat global dalam skema penanganan perubahan iklim UNFCCC,” jelas Titi Soentoro yang juga mewakili SP Kinasih Yogyakarta.

Baca Juga:  Menuntut Deklarasi Darurat Iklim, Gerakan Jeda Untuk Iklim Gelar Aksi di Tugu

Berbagai aksi telah dilakukan untuk menyikapi perubahan iklim. Namun, kata Titi,  aksi-aksi tersebut perlu lebih mempertimbangkan konteks mitigasi, respons darurat, adaptasi ataupun recovery perubahan iklim. Sebab, kebutuhan yang paling mendesak adalah perlunya sebuah payung hukum yang mewadahi kebijakan perubahan iklim, serta kebijakan dan aksi lingkungan yang belum terintegrasi dengan perspektif gender di Yogya.

Titi menegaskan, pemerintah dan pemangku kepentingan juga perlu mempertegas dan memperjelas rencana kerja dalam berbagai sektor termasuk dalam kebijakan transportasi yang belum diintegrasikan dengan isu iklim dan gender. Kebijakan pembangunan harus dipertegas juga khususnya berkaitan dengan berkurangnya tutupan lahan hijau, alih fungsi lahan produktif untuk pembangunan, tidak adanya fasilitas kendaraan umum yang memadai (aman dan nyaman). Integrasi gender dalam semua elemen kebijakan yang belum sepenuhnya dijalankan, termasuk kebijakan lingkungan.

Donny Andhika seorang cyclist vlogger mengatakan, selain dibutuhkan perhatian dan aksi nyata dan strategis dari pemerintah, dibutuhkan pula peran aktif masyarakat dalam menghadapi masalah krisis iklim. Salah satu aksi ramah iklim yang sudah dimulai warga Yogya melalui gerakan Jogja Lebih Bike, sebuah gerakan yang mendorong masyarakat untuk membantu mengurangi emisi karbon dari kendaraan bermotor di Yogya dengan bersepeda.

Baca Juga:  Peluang AI Perangi Hoaks Krisis Iklim

“Bersepeda mungkin upaya yang sederhana, namun saya percaya jika dilakukan bersama-sama, aksi ini dapat memberikan dampak yang nyata bagi kualitas udara yang lebih baik di kota kita. Saya sangat senang menjadi bagian dari gerakan Jogja Lebih Bike yang telah menginspirasi,” tutur Donny.

Menanggapi isu iklim di Yogya, Roy Murtadho dari Jaringan Gusdurian menyatakan, agama itu harus membumi. Dari teori menuju aksi, dari percakapan menuju tindakan. Manusia pada hakikatnya bertugas menjadi khalifah Allah di atas bumi. Untuk itu, apa pun latar belakang agamanya, setiap individu perlu berperan menjaga alam dan memulai perubahan sekecil apa pun di lingkungan hidupnya, demi iklim bumi yang lebih baik.

Menyambut Hari Bumi dan bulan Ramadan, Jogja Lebih Bike dan berbagai mitra pendukung mengadakan Ngabuburide Challenge. Dari Jumat, 23 April 2021 hingga 1 Mei 2021. Masyarakat Yogya diajak ngabuburit dengan bersepeda, berbagi pengalaman, dan inspirasi. Terutama berkontribusi untuk kualitas udara kota yang lebih sehat dan bersahabat melalui kanal media sosial.

Melalui kampanye tersebut, diharapkan lebih banyak masyarakat mendapatkan informasi seputar isu iklim, serta gas buang kendaraan bermotor sebagai kontributor emisi tertinggi di kota Yogya. Selain itu, dapat membangun gerakan bersama dalam mengubah pola perilaku masyarakat yang lebih ramah iklim. (Septia Annur Rizkia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *