Kolom  

Menapaki Jalan Hidup Menulis

Dokumentasi kegiatan bersama komunitas Forum Penulis Kebumen pada 2010. (Foto: Istimewa).

MEMILIH jalan hidup sebagai seorang penulis tak pernah masuk dalam daftar cita-cita. Lha saat masih SD ketika pelajaran Bahasa Indonesia dikasih tugas mengarang ya begitu-begitu saja. Asal selesai. Hanya saja, saat SD di Kebumen sudah mulai senang dengan bacaan novel berlatar perjuangan. Beberapa novel rampung dibaca.

Belakangan semakin ke sini semakin paham, ada beberapa novel berlatar sejarah yang alur cerita dan penokohannya kuat sehingga bikin penasaran untuk mengetahui ending cerita. Mungkin untuk anak seusia SD tak banyak yang punya minat baca buku novel yang cukup tebal. Apalagi merampungkan sampai selesai baca.

Saat SD pula, bapak saya mulai mengenalkan surat kabar atau koran. Meski tak berlangganan, saat pulang dari pasar di pusat kota Kebumen, beberapa kali bapak membawa pulang surat kabar harian Suara Merdeka. Berita olahraga, khususnya sepak bola salah satu yang menarik buat dibaca. Kompetisi sepak bola Liga Indonesia dengan tim Mahesa Jenar PSIS Semarang juga tim BPD Jateng kala itu sering menghiasi pemberitaan. Tak luput berita kriminal besar kala itu seperti perburuan Slamet Gundul, pemberitaan kasus pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin termasuk membetot perhatian masa kecil di era 90-an.

Baca Juga:  Mewujudkan Desa Mandiri, Sebuah Keniscayaan

Bapak tak selalu membelikan koran saat pergi ke pasar. Beruntung satu tetangga seorang pamong desa, sering pulang membawa koran. Sering sambil main ke rumahnya saya pinjam dan baca koran. Bahkan kadang saya minta untuk dibawa pulang. Saat SD pula, ketika harga koran Suara Merdeka masih Rp 525 per eksemplar kerap titip pesan beli koran kepada tukang becak yang rutin saban hari ke pasar. Titip beli koran khususnya edisi Minggu. Dari koran yang kala itu bertagline Objektif, Independen, Tanpa Prasangka lalu berubah jadi Perekat Komunitas Jawa Tengah, pertama kali mengenal tulisan kolom.

Salah satu bacaan wajib yakni tulisan di kolom ulasan sepak bola yang digawangi Amir Machmud NS. Tulisan naratif dan bergaya tutur enak serta diksi-diksi yang tak terduga begitu membekas. Ada yang mengistilahkan sebagai jurnalisme sastrawi. Kolom Gayeng Semarang yang ditulis trio penulis Prof Eko Budihardjo, Prof Retmono dan Prof Abu Suud juga menjadi bacaan yang sangat familiar sampai menjadi bacaan wajib ketika buka koran Suara Merdeka di era 2000-an.

Baca Juga:  Penyaluran dan Pencairan Dana Desa

Begitulah, kenangan masa kecil usia SD-remaja, dengan bacaan buku dan koran ternyata menjadi bagian ‘data’ masa lalu yang tersimpan kuat. Sampai-sampai bau kertas koran baru yang belum dibaca masih membekas. Dan baru saya sadari kenapa pada akhirnya nyemplung ke dunia tulis-menulis dan jurnalistik. Ternyata akarnya dari situ. Memori rekaman alam bawah sadar saat anak-anak diam-diam menginspirasi.

Tentu perjalanan menulis melalui proses cukup panjang. Karena saat SMP-SMA terbilang jarang baca buku-koran. Waktu luang lebih banyak dihabiskan buat main bola. Kembali baca-baca majalah Panji, Gatra saat kuliah. Dan ketika baca-baca majalah di Perpustakaan Unsoed Purwokerto mulai terbersit untuk menulis.

Angan-angan untuk menulis benar-benar terlaksana. Mulai memberanikan diri untuk mencoba menulis, mengirim naskah. Perjalanan berikutnya bertemu dan berkenalan dengan sosok-sosok yang kompeten dan suhu dalam kepenulisan. Bertemu dengan sosok sastrawan Ahmad Tohari, ketemu dengan wartawan Suara Merdeka Biro Kedu Komper Wardopo (sekarang di suarabaru.id) lalu bertemu dengan wartawan SKM Minggu Pagi KR Grup Sihono HT (sekarang di wiradesa.co) makin mematangkan saya dalam bidang kepenulisan. Setelah sebelumnya berjejaring cukup lama dan intens dalam wadah komunitas Forum Penulis Kebumen (FPK) bersama mendiang Ambijo, Sabit Banani, Eko Wahyudi, cerpenis Sam Edy Yuswanto.

Baca Juga:  Profesi Kita dan Ghibah

Kini di era digital, ketika koran edisi cetak nafasnya pendek dan makin mengurangi ruang bagi para penulis lepas berkontribusi, media digital bisa menjadi harapan buat melabuhkan karya berupa tulisan. Di tengah gempuran media sosial saat mana profesi menulis dalam benak anak muda mungkin dianggap kalah pamor dengan influencer, konten kreator, youtuber, hemat saya para penulis harus tetap optimis. Hanya saja perlu sedikit kompromi dengan arus zaman.

Bagi orang-orang kreatif, dunia kepenulisan masih menjanjikan. Contohnya, beberapa konten kreator justru membikin buku edisi cetak lalu menjualnya lewat kanal media sosial. Buku-buku laris ketika ditawarkan lewat channel Youtube dan lainnya. Tentu fenomena ini menjadi angin segar, bagi para penulis.


Sukron Makmun, perangkai kata di wiradesa.co

Tinggalkan Komentar