KEANDALAN seorang penulis atau wartawan, reporter TV, atau jurnalis foto dalam mencari alamat narasumber atau sekadar menjangkau titik lokasi liputan di dalam atau luar kota barangkali tak kalah dengan seorang kurir pengantar barang. Terkadang ia harus mendatangi suatu tempat (desa, kota, provinsi bahkan negara) yang belum pernah sama sekali dikunjungi. Dalam peristiwa tertentu yang berkait dengan kedaruratan dan bencana alam, terkadang para pemburu berita harus berjuang ekstra.
Bencana tsunami Aceh 2004 menyisakan cerita. Bagaimana sosok Beawiharta mantan jurnalis Reuters akhirnya bisa menjejakkan kaki di bumi Serambi Mekah tepat di hari kedua bencana. Ia termasuk 11 wartawan luar Aceh yang bisa masuk di saat situasi setempat lumpuh total.
Cerita perjalanan seorang jurnalis dalam memburu berita di lokasi bencana atau lokasi konflik selalu menarik disimak. Untuk menjangkau lokasi saja sudah demikian sulit. Di saat yang sama harus bisa bertahan hidup sekaligus menjalankan tugas jurnalistiknya agar situasi terkini segera diketahui khalayak luas dan bantuan tanggap darurat, evakuasi korban, pertolongan medis, serta kebutuhan logistik lekas dikerahkan.
Lantas bagaimana dengan jurnalis yang tak bertugas meliput di tengah kecamuk bencana atau lokasi konflik? Suasana liputan di lokasi nonbencana pastinya berbeda. Derajat tantangannya pun tak sama. Meski begitu, apabila seorang jurnalis bekerja untuk penerbitan koran harian atau online tetap dituntut agar tepat waktu sesuai detlen naskah.
Hal yang sama juga berlaku untuk mereka yang bekerja pada media terbitan mingguan atau bulanan. Disiplin terhadap detlen tetap dibutuhkan agar ulasan berita yang disajikan apalagi terkait isu yang menyedot perhatian publik tak sampai terlewatkan.
Dulu saat ngejob menulis naskah untuk koran mingguan di Yogya kurun 2012-2019, meski dituntut detlen tiap Rabu malam untuk terbit tiap Jumat, saya merasa enjoy. Tinggal di kos-kosan tak jauh dari kantor redaksi di Jalan Margo Utomo Yogya sangat memudahkan akses liputan ke mana saja di wilayah Yogyakarta. Bahkan terkadang liputan sampai jauh melampaui batas wilayah provinsi. Sering liputan sampai Purwokerto, Kebumen, Purworejo, Banjarnegara, Purbalingga, Magelang, Wonosobo. Pernah pula liputan sampai Kendal, Lasem (Rembang) dan Jepara. Rekor bermotor terlama yakni empat hari berturut-turut menempuh jarak Yogya-Lasem. Transit menginap di salah satu masjid di Semarang.
Pernah pula menempuh perjalanan bermotor rute panjang, liputan sejumlah objek wisata di Jepara. Pantai Kartini, Bandengan, Museum RA Kartini, Pulau Panjang. Perjalanan tiga hari menginap satu malam. Tantangan liputan dengan bermotor jarak jauh lebih kepada keletihan fisik. Kulit tangan menghitam akibat sengatan matahari. Terpaan angin dan hujan serta paparan hawa dingin malam.
Berangkat ke Jepara lepas dari Yogya Kamis malam pukul 21.00, sesampai di Ungaran terhalang hujan lebat. Ngaso dan mendinginkan mesin motor hingga pukul 01.00. Lanjut perjalanan dini hari terjebak rob di kawasan Terboyo. Pukul 03.30 transit tidur di Masjid Agung Demak. Habis Subuh berangkat lagi menuju Jepara dan tepat pukul 07.00 sampai di pusat kota Jepara. Dengan kondisi motor sehat, perjalanan tanpa kendala hingga pulang kembali ke Yogya. Meski letih tapi hati gembira. Letih jadi tak begitu terasa. Kalkulasi ongkos perjalanan termasuk biaya penginapan Rp 400 ribu.
Sebagai wartawan lepas, tak terikat kontrak kerja dengan perusahaan, ditambah model pemberitaan sesuai rubrikasi yang ada, sebetulnya tak ada tuntutan dari pihak redaksi harus liputan sampai ke lokasi yang jauh. Menempuh perjalanan jauh mencari berita macam kisah struggle perjalanan seorang pengusaha untuk rubrik pantang menyerah, liputan peluang usaha, melancong, kuliner, pesantren, lebih karena minat pribadi. Meski bila dihitung upah tulisan antara Rp 50-110 ribu pernaskah dan foto, bisa bikin dompet boncos di biaya perjalanan dan akomodasi.
Agar tak boncos terus-terusan tentu liputan jauh tak selalu jadi prioritas. Hanya sesekali saja, hitung-hitung nyambi dolan, refreshing. Model kerja macam itu bagi orang yang tak biasa dan terlatih tentu akan terasa memberatkan. Mana sampai rumah atau kos-kosan masih punya kerjaan mengetik naskah, mengolah naskah yang butuh fokus pikiran. Menulis, kerja hati dan pikiran. Proses mencari bahan tulisan melibatkan badan sekaligus butuh pergerakan fisik. Untuk mendapatkan data lapangan.
Lalu apa makna atau hikmah menempuh perjalanan di balik aktivitas liputan tersebut? Pertama, mengasah kepekaan. Dalam perjalanan liputan seringkali berjumpa dengan realitas kehidupan yang berbeda. Melihat langsung keuletan rakyat jelata berjibaku mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Meliput kegigihan petani semangka di lahan pesisir selatan, pernah pula mewawancara dan memotret aktivitas para buruh gendong Pasar Giwangan pada dini hari. Melihat langsung bagaimana kegigihan mereka beraktivitas menurunkan beban buah dan sayur pada pukul 03.00 pagi. Jika bukan dalam rangka mencari berita tentu tak pernah terpikir untuk mengagendakan blusukan pasar di Umbulharjo Yogya sepagi itu.
Kedua, memupuk keyakinan dan karakter diri serta menambah rasa syukur. Dalam kegiatan liputan lapangan rasa lelah, kantuk, dompet cekak terkadang datang bersamaan. Tidur pun mencari lokasi sedapatnya. Bisa di masjid pinggir jalan atau di SPBU. Uniknya, pernah dalam situasi seperti itu selang beberapa hari kemudian mendapat suntikan energi happy berupa perjalanan berikutnya yang lumayan nyaman. Entah mengikuti kegiatan pers tour atau kegiatan lain yang include akomodasi lumayan mewah. Naik pesawat, menginap di hotel berbintang lima, makan enak dan dapat uang saku lebih pula. Di situlah tumbuh rasa syukur. Ibarat habis minum teh pahit, begitu hilang rasa pahitnya diganti minum teh manis. Tentu saja rasa manisnya jadi terasa lebih nikmat.
Makna perjalanan liputan bagi saya tak sekadar ‘mengukur’ jalan. Karena melalui perjalanan liputan saya bisa merasakan denyut kehidupan. Zaman dulu atau mungkin masih ada hingga sekarang cerita laku spiritual jalan kaki menziarahi makam wali, maka olah spiritual bagi seorang penulis, wartawan atau jurnalis bisa jadi saat mereka menempuh rute perjalanan menuju lokasi sumber berita. Terkadang berat, namun tetap ada banyak hikmah bahkan terdapat berkah agung di baliknya.
Sukron Makmun, perangkai kata di wiradesa.co








